Skip to main content

Bismillah, Kembali Aktif Menulis di Blog

Seperti diceritakan di tulisan sebelumnya, saya berhenti apdet blog ini selama 4 tahun! Waktu yang sangat lama bukan? Tapi itu bukan berarti saya berhenti menulis total, karena menulis (setelah membaca) adalah aktivitas healing paling mujarab untuk saya. Salah satunya, saya menulis buku harian dan menulis status di facebook. Ih status mah bukan tulisan, dong! tapi, kalau sedang semangat kadang status saya di facebook bisa berlembar-lembar loh!

Hiatus Ngeblog

April tahun 2018, alhamdulillah suami mendapat penugasan selama satu tahun di Indonesia. Suami adalah seorang dosen, kebetulan memiliki kesempatan untuk mengajar di universitas di manapun yang bersedia menjalin kerjasama dengan universitas tempat suami mengajar. Meskipun bekerja di universitas di luar Jepang, gaji dan biaya-biaya perjalanan, akomodasi, biaya sekolah anak-anak semua ditanggung universitas. Saya dan anak-anak sangat antusias, karena sudah lama kepingin pulang kampung yang agak lama, tidak dikejar-kejar jadwal back to school atau back to work.

Menjelang meninggalkan Jepang, saya disibukkan dengan mengurus rumah supaya bisa ditinggalkan dalam waktu satu tahun. Memberesi tanaman di halaman supaya tidak menjalar ke rumah tetangga kiri, kanan, samping, dan belakang. Yang terberat adalah mengosongkan kulkas dan pantry, sampai-sampai menu makanan harus dijadwal dengan ketat supaya tidak ada bahan makanan yang mubazir.

Setelah mendarat di Indonesia, tepatnya di Bogor, tentu saja kami menjadi lebih sibuk, karena harus menyesuaikan dengan ritme kehidupan yang sama sekali baru. Beruntung sebelum berangkat ke Indonesia, kami secara garis besar sudah menyepakati hal-hal yang kami anggap prioritas dan tidak bisa ditawar. Salah satunya, mendapatkan sekolah yang dekat dengan rumah dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki seperti di Tokyo. 

Jadilah kami memprioritaskan memilih sekolah anak-anak terlebih dahulu, baru kemudian mencari rumah-rumah di sekelilingnya yang tersedia untuk dikontrak. Kami sangat bersyukur ada google map dengan streetview, sehingga bisa dikatakan kami sudah hampir yakin dengan sekolah dan rumah yang kami pilih karena sudah puas berjalan mondar mandir di google streetview! Dengan yakin, saya mengontak broker rumah kontrakan yang bersangkutan, proses berjalan sampai hampir deal, tinggal difinalisasi kemudian.

Ternyata ketika kami pindah, kami gagal memasukkan anak-anak ke sekolah yang kami incar. Padahal semua persyaratan sudah lengkap. Alasannya karena pihak sekolah menilai kemampuan bahasa Indonesia anak-anak tidak cukup! Kalaupun mereka bersedia menerima, status anak-anak adalah sebagai pelajar tamu dan tidak bisa mendapatkan raport seperti layaknya murid tetap. Bersyukur, beberapa meter saja dari sekolah itu ada sebuah sekolah intercultural yang menjadi plan B, dan sekolah itu bisa menerima anak-anak tanpa kesulitan apapun.

Masalah rumah juga sama, ternyata rumah yang kami incar kondisinya tidak sesuai dengan foto yang dipajang di website. Lagi-lagi beruntung kami mendapatkan rumah kontrakan yang justru hanya selang satu rumah dari sekolah interculural yang menerima anak-anak. Padahal rumah ini tidak diiklankan di internet dan tidak masuk dalam radar pencarian kami. Ini yang namanya jodoh kali ya, everything falls into place!

Keasyikan di Facebook

Bergulirlah petualangan kami sekeluarga di Bogor. Suami yang setiap hari menyeberangi jembatan yang terbentang di atas sungai Ciliwung, menuju pangkalan angkot yang mengantarnya ke Stasiun Bogor. Disambung naik kereta yang menyampaikannya ke tujuan; sebuah kampus nan asri di Depok. 

gunung-salak-bogor
Pemandangan sehari-hari saat tinggal di Bogor

Lalu, anak-anak yang tiba-tiba setiap hari harus bersekolah di sekolah intercultural yang full berbahasa Inggris. Kalau bahasa Indonesia saja dianggap kurang lancar sampai ditolak di Sekolah Dasar Negeri, maka kemampuan bahasa Inggris lebih parah! Bisa dibayangkan perjuangan mereka sehari-sehari karena mendadak harus cas cis cus dengan guru ekspat dan anak-anak asing di sekolah!

Bisa dibayangkan pula kerepotan saya, ibu mereka dong! Menyiapkan segala sesuatunya dari bangun pagi sampai tidur lagi di rumah kontrakan yang berlipat-lipat besarnya dibanding rumah kami di Tokyo. Seperti sudah dimaklum, rumah-rumah di Tokyo berukuran imut-imut, tapi sangat fungsional. Jadi saya megap-megap mengurus rumah yang besar, dan tidak fungsional sama sekali! Misalnya kompor di dapur utama hanya hiasan karena mati total dan harus menggunakan kompor di dapur luar dekat garasi! Bahkan di awal-awal, saya harus mencuci pakaian dengan tangan karena menunggu mesin cuci bisa dipasang di tempat yang tepat. Oh, seperti di Tokyo, tentu saja saya tetap bertugas tanpa asisten rumah tangga!

Tapi semua ini tidak mengurangi keseruan petualangan kami. Setiap saat penuh dengan kejutan yang kadang menyenangkan, mengesalkan, bahkan mengharukan! Tentu saja saya tak ingin melewatkan mencatatnya, tapi saya tidak punya banyak waktu. Jadilan Facebook tempat saya menyimpan catatan kehidupan sehari-hari yang kami lalui, meskipun sesekali masih mengintip blog ini untuk mencari-cari resep favorit keluarga. Maklum, Ibu sibuk memuaskan lidah Indonesia sampai lupa masakan Jepang kesukaan anak-anak!

Kesibukan selama Pandemi

Petualangan kami pun berakhir di bulan April, 2019. Anak-anak yang akhirnya bisa menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan baru di Bogor, harus kembali ke Tokyo dan memulai tahun ajaran baru. Si Sulung kembali ke sekolah yang lama, sementara Si Tengah mendaftar masuk SD, dan Si Bungsu akhirnya bisa masuk TK. Seminggu pertama tiba di Tokyo, kami sekeluarga ambruk karena kena influenza....

Tahun pertama si Tengah adalah yang terberat. Karena memang memiliki kesulitan komunikasi, ditambah keharusan untuk berganti-ganti lingkungan sekolah yang sangat berbeda culture-nya. Kami sempat mempertimbangkan untuk memindahkan ke sekolah khusus, melakukan observasi ke beberapa sekolah lain, berkonsultasi dengan psikolog, spesialis tumbuh kembang anak, juga dengan konselor sekolah. Setelah melalui banyak pertimbangan, si Tengah tetap bersekolah di sekolah yang sama, dengan berbagai kendalanya.

Di hari-hari yang terasa lamban berjalan, saya sempat menulis resep pastel barbagiuan, menu makan siang di sekolah yang mirip pastel Indonesia dan cocok di lidah. Itulah tulisan blog saya terakhir, di bulan Desember 2019, karena kemudian pecah Pandemi Corona. Setiap hari kami warga Jepang, resah mengikuti berita perkembangan penumpang yang terperangkap di dalam kapal pesiar Diamond Princess di Yokohama. Akankah Corona juga masuk ke Jepang?

Tentu saja kita semua tahu jawabannya. 

Apakah Tokyo akan lockdown? Apakah suami juga akan work from home? Apakah anak-anak akan sekolah online?

Jawabannya ya, ya, dan ya!

Awal menjalani hari-hari di rumah tanpa harus ke kantor atau ke sekolah terasa sebagai anugerah. Tapi lama-kelamaan keterbatasan ruang gerak menumpuk stress semua anggota keluarga. Pekerjaan yang terganggu kebisingan anak-anak, sementara anak-anak sulit dikondisikan untuk duduk dan belajar saja tanpa ada interaksi langsung dengan teman sekolah dan guru. Seperti ibu-ibu lain di seluruh belahan dunia, tentu saja saya juga harus berusaha meredam pengaruh buruk stress seluruh anggota keluarga yang berkepanjangan karena terkurung di rumah.

Jangan salah loh, saya senang berada di rumah. Saya tidak merindukan masa-masa sebelum pandemi karena ingin bebas keluyuran ke luar rumah. Tapi, saya ingin suami dan anak-anak saya yang keluyuran ke luar rumah, karena saya rindu leluasa sendirian di dalam rumah!

Ah, kalau mengingat kembali hari-hari itu, saya benar-benar tidak punya waktu untuk bisa duduk manis menulis blog. Seandainya saya punya waktu pun, saya tidak akan kebagian giliran pegang laptop atau komputer di rumah!

Lupa Password Login ke Blogger

Sayang seribu sayang, setelah pandemi mereda dan aktivitas anggota keluarga sudah mulai normal, saya tetap juga tidak dapat menulis di blog. Kenapa? karena sepertinya seseorang me-logout saya dari Blogger, dan ketika saya login, ternyata saya lupa password Blogger! 

Tak perlulah saya mengulangi kisah kehebohan memulihkan akun email untuk masuk ke Blogger. Tapi penting untuk saya tekankan bahwa kegigihan untuk memulihkan akun Blogger adalah karena arti menulis blog sangat besar bagi kewarasan saya!

Blog ini saya mulai di tahun 2007, menggunakan platform blog dari Multiply

Multiply was the best thing that ever happened to me after Friendster.

Untuk saya yang introvert, Friendster adalah hembusan angin musim semi yang hangat. Saya bisa asyik mengintip orang-orang yang saya kepingin kenal tapi tak berani sapa. Mengetahui apa yang dilakukannya hari ini, dekat dengan siapa dia akhir-akhir ini, ah jadi terigat relationship status it's complicated. Semua tentang dia bisa saya tahu tanpa jantung berdebaran tak menentu, muka harus memerah, atau telapak tangan berkeringat. 

Tapi seperti hembusan angin, Friendster hanyalah hiburan sesaat.

Sedangkan Multiply adalah teman setia. Teman yang mendengar ketika saya bercerita. Teman yang menjawab bahkan bercerita panjang lebar ketika saya bertanya dan siap menyimak. Teman yang saya temukan ketika saya harus sendirian memulai hidup baru di negara asing.

Saya tahu cara mendaftar rumah sakit di Jepang ketika hamil dari blog seseorang di Multiply. Juga tahu proses kehamilan, melahirkan dan selanjutnya dari blog orang-orang lain yang saling terhubung dalam jejaringnya. Multiply seperti kampung kecil dengan warganya yang saling terhubung dan berbagi pengalaman masing-masing. Itulah arti blog bagi saya. Sampai-sampai ketika saya mencari informasi tentang sesuatu, yang saya cari adalah apakah seseorang telah menulisnya di Multiply!

Tercecer dari Komunitas Blogger

Sayang sekali Multiply kemudian bubar.

Beruntung Multiply berbaik hati mengumumkan pembubaran, dan memberi waktu untuk memindahkan tulisan ke platform lain. Saya pun boyongan memindahkannya ke Blogger. Sebagian saya rapihkan, tapi sebagian saya biarkan begitu saja, bahkan sebagian besarnya lagi terkubur di draft. Banyak tautan ke foto atau artikel yang rusak terbengkalai begitu saja. Meskipun saya mencoba menulis di tempat-tempat lain, saya selalu kembali ke blog ini....

Karena saya menulis di blog, apakah saya seorang blogger?

Sepertinya seseorang menganggapnya begitu. Seorang sahabat saya di dunia nyata, sekaligus tetangga di Multiply dulu, mencolek saya untuk bergabung di sebuah komunitas blogger. Setelah bergabung, saya kadang dicoleknya untuk ikutan event blogger. Kadang saya ikut, dan pernah menang. Pernah juga tulisan saya di mention blogger (yang katanya) kondang. 

Semakin lama, sahabat saya ini semakin jarang mencolek saya. Sepertinya dia sibuk dengan pekerjaannya menulis di jurnal penelitian atau sekali-sekali menulis untuk koran dan majalah. Lalu saya pun tercecer dari komunitas blogger itu.

Tapi tak apa, karena sepertinya saya bukan seorang blogger, dalam arti seorang blogger profesional yang mendapat kompensasi dari menulis blog.

What's Next?

Sampai kemudian saya menyadari suatu hal.

Tiba-tiba blog ini kebanjiran iklan! iklan yang seenaknya nongol di sana-sini. Ternyata blog ini tersambung ke google adsense! bahkan saya lupa kapan pernah apply.....

Sayangnya, karena iklan-iklan dan komentar-komentar dengan link-link berhantu yang terlanjur bertebaran selama saya hiatus ngeblog, saya bahkan tidak bisa menyebar tulisan baru karena tertolak di facebook!

Lalu apakah karena saya menerima iklan di blogger serta merta saya menjadi seorang blogger? 

Ini adalah sebuah pertanyaan yang sedang berusaha saya jawab dengan menantang diri sendiri melalui challennge ini.

ngeblog-asyik-bareng-KEB

Sanggupkah saya ikutan asyik ngeblog? atau tetap dengan inertia lama, menulis hanya ketika ingin berbicara dan butuh didengar?

Comments

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b

Menyurangi Resep Ebi Furai

Salah satu makanan favorit keluarga adalah furai atau gorengan, terutama ebi furai. Biasanya kalau saya membuat stok makanan beku saya sekaligus membuat ebi furai , chicken nugget dan hamburg/burger patties . Cuma belakangan si Aa udah mulai jarang tidur siang, jadi sudah tidak bisa lama-lama mencuri waktu membuat stok makanan lagi.

Rindu Menjahit

Belakangan ini rindu sekali belajar menjahit lagi, sayang sekali masih belum ketemu waktu yang pas. Kakak masih pulang cepat dari TK, adik juga masih harus selalu ditemenin main. Tapi karena sudah tidak tahan saya nekat memotong kain untuk membuat gaun. Sayang sekali belum selesai juga, Insya Allah nanti diapdet kalau sudah selesai. Sementara menanti momen yang pas, saya ubek-ubek lagi foto jadul pertama kali kena menjahit. Membuat perlengkapan sekolah kakak dan beberapa dress dari kain sarung bantal untuk latihan.     Melihat foto-foto ini jadi semakin ingin belajar menjahit....hikkksss.     Tas bekal, luncheon mat, dan cuttlery wallet tas jinjing sekolah TK untuk membawa buku cerita baju karung dari kain spanduk versi ikat pinggang (baseball punya suami hi3) baju karung dari kain spanduk dress anak dari bahan sarung bantal dress wanita, belajar menjahit rempel (gak tau istilah teknisnya)