Skip to main content

Teman Bloggerku, Shu

Temanku, Shu 

Ruangan resepsi Masjid Camii Tokyo mulai ramai. Akhirnya hari ini datang juga, hari resepsi pernikahan putri seorang teman yang akad nikahnya telah kuhadiri online 7 bulan lalu. Alhamdullah, kewajiban mengenakan masker pun sudah dihapus sejak bulan Mei lalu, meski sepertinya jumlah tamu masih dibatasi, dan sebagian besar tamu undangan masih bermasker.

Temanku Shu, masih belum kelihatan batang hidungnya.

Saat mengisi undangan rspv lewat google form beberapa minggu lalu, Shu sangat antusias. Melihat nama ibu mempelai pria di tautan undangan, Shu tersenyum,

"Oh, aku sudah mengenalnya lama sejak jaman Multiply!"

Hm, Multiply lagi. Akhir-akhir ini kuperhatikan Shu berubah, selalu bicara tentang nostalgia. Pembicaraan tentang nostalgia yang tidak hanya kutau dari pesan-pesan singkatnya, tapi juga dari status-statusnya di facebook. 

Ku-scroll lagi status terakhir Shu di timeline-ku.


Blog, Blogger, Blogger Community, dan Blogosphere

Temanku Shu, adalah seorang blogger. 

Sepengetahuanku, dia seorang Blogger dalam artian seseorang yang menulis di blog, tepatnya weblog, atau semacam diary online. Shu termasuk orang-orang yang ikut arus evolusi pertama Web 2.0. Saat sosial media belum seperti sekarang, orang-orang menulis apa saja yang menjadi minatnya di blog. Kalau ada yang menulis tentang bermacam-macam informasi dan opini, ada juga yang menulis blog sekedar menyimpan catatan harian yang ringan, curhat lah. Jadi lebih tepatnya, temanku Shu adalah seorang personal blogger.

Mulitiply sebagai salah satu platform weblog saat itu, selain menampung tulisan dalam bentuk blog, juga bisa digunakan merangkum album foto dan album video sehingga cukup populer. Para blogger saling follow mem-follow, bertukar komentar, atau bahkan berdiskusi di kolom komentar sebuah blog. Pemilik blog bertindak sebagai tuan rumah yang dapat memoderasi komentar sehingga pembicaraan tidak lantas meruncing, atau bahkan memanas karena perdebatan. Para blogger saling terhubung dalam blogger community yang terbentuk secara alamiah karena kesamaan interest. Pada akhirnya komunitas-komunitas ini membentuk jagat per-blogger-an yang disebut blogosphere

Temanku Shu, adalah seorang blogger yang tetap sebagai personal blogger, bahkan ketika sosial media sudah seperti sekarang ini. Oh, tentu saja dia punya akun di semua sosial media, tapi dia hanya menggunakan facebook, itu pun sekedar sebagai alternatif tempat untuk menumpahkan curhatnya. Hanya saja, beberapa kali Shu mengeluh lebih nyaman curhat di blognya, less judgmental katanya. Beberapa kali dia me-non aktif-kan Facebook, kembali ke aktivitas blogging. 

Tapi tak lama kemudian, dia kembali lagi ke Facebook. Begitu terus berulang kali.

Professional blogging, Personal branding, dan Networking

Aku tahu, Shu sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia blogging. Dia termasuk yang tercecer dari komunitasnya. Salahnya sendiri, karena dia tidak pernah menyadari kekuatan sosial media dan platform blogger yang berhasil membawa teman-teman blogger-nya beralih ke professional blogging, dan sosial media adalah alat untuk personal branding

Tapi, temanku Shu, adalah blogger yang ikut pendapat bahwa personal blogging dan community building di internet harus dihidupkan kembali. Shu seakan menutup mata,  jaman sekarang justru blogger malah mulai menggunakan AI untuk memutakhirkan kegiatan blogging mereka. 

Sebagai teman, tentu saja aku sudah mengingatkan. Memperkenalkannya pada sebuah komunitas blogger, memberi tahu apa saja keahlian dan faktor pendukung yang dibutuhkan untuk menjadi seorang blogger professional. Tak hanya mengabari kalau ada lomba blogger, aku juga mengajaknya, bahkan menemaninya ikut berkompetisi. Padahal kesibukanku sendiri sudah seabrek banyaknya. Satu dua kali dia masih mau ikut, tapi kalau aku lupa mengajaknya, maka dia pun kembali sibuk mencurahkan isi hati di blog pribadinya.

Suara merdu MC resepsi yang memandu tamu memasuki ruangan resepsi menyadarkanku dari lamunan tentang Shu. Para tamu sudah mulai menduduki kursi masing-masing. Selain memisahkan tamu undangan pria dan wanita, panitia membebaskan kami duduk di tempat yang disediakan. Aku menaruh tasku di kursi sebelahku, untuk temanku Shu. Sebentar saja kursi-kursi yang diatur mengelilingi meja bundar besar menghadap panggung pengantin sudah penuh. Mejaku terletak persis di sebelah meja keluarga pengantin. Sangat strategis, sebab kutahu pasti Shu ingin menyapa teman bloggernya dengan leluasa.

Benar saja, tak lama Shu datang dengan senyumnya yang merekah. Kulihat dia menyapa beberapa orang, sambil berjalan ke tempatku. Aku tau Shu jarang sekali bertemu dengan orang-orang yang disapanya. Aku juga tau, orang-orang itu juga adalah bagian dari teman-teman dari Multiply yang sering disebut-sebutnya. Hm, ternyata kalau bertemu secara fisik alias meet-up, masih dapat dirasakan hubungan yang terjalin lewat komunitas bahkan setelah komunitas itu bubar. 

Kuisyaratkan Shu untuk duduk di kursi sebelahku. Tapi dia menggeleng, memilih duduk di bangku-bangku panjang yang berderet dekat rak-rak buku tinggi yang antik di pojok ruangan. 

Ah, begitulah temanku Shu.

Sebuah Titik Balik buat Shu

Sebelum adzan dzuhur, para tamu undangan dipandu untuk memasuki area masjid di lantai 2 dan bersiap untuk shalat. Kulihat Shu menyapa ibu mempelai wanita teman kami. Aku pun beranjak lebih dulu ke tempat wudhu. Shu pun tidak terlihat shalat di shaf wanita di lantai 3, mungkin dia shalat di shaf belakang lantai 2 masjid.

Kembali ke ruang resepsi, kulihat Shu sedang bercengkrama akrab dengan ibu mempelai pria. Beberapa tamu lain juga ikut berkumpul. Kudengar sayup obrolan  mereka disela derai tawa ceria Shu,

"Oh iya masih inget dong di Multiply!"
"Sudah pindah berkali-kali tapi aku masih ngikutin loh sampai website yang terakhir"
"Yang cerita program PhD bahasa Arab, itu cerita lama!"
"Nah loh, berarti website yang itu bukan yang terakhir dong!"
"Iya yang terakhir, tapi memang sekarang website yang itu vakum dulu, perbaikan. Lagi aktif di website yang baru lagi"
"Yah, yang lama hilang, yang baru belum nyambung". 
"Sini minta Whatsapp aja deh kalau begitu!"

Kulihat mereka saling bertukar nomor telepon, lalu kembali ke kursi masing-masing, Shu masih dengan senyumnya yang merekah.

"Rasanya seperti mimpi. Aku masih bisa membaca tulisan-tulisannya membersamai anak-anaknya. Membuatku seperti sudah mengenal sang mempelai pria dari sejak kecil. Melihatnya bersanding di hari bahagianya hari ini, seperti adegan back to the future!"

Beberapa hari kemudian, Shu mengabari bahwa mereka sudah tersambung di whatsapp. Teman lamanya sudah berpamitan kembali ke Indonesia.

"Syukurlah, jadi tersambung secara pribadi dong ya sekarang, berkat komunitas blogger"
"Hm, gak juga siy. Aku sempat dimintai akun facebook. Tapi aku gak kasih tau"
"...."
"Aku malu, isi akun facebook-ku curhatan dowang"

Ah, temanku Shu. Mungkin inilah titik balik yang kau butuhkan. Seorang teman dari masa lalu yang akan menyadarkanmu, kau sudah di sini, di masa depan! Mau tak mau, kalau kau masih setia dengan blog-mu, kau sudah harus bersiap karena web 3.0 sudah bergulir, bahkan menjelang web 4.0!

blog-challenge-ngeblog-asyik-bareng-keb


Comments

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b

Menyurangi Resep Ebi Furai

Salah satu makanan favorit keluarga adalah furai atau gorengan, terutama ebi furai. Biasanya kalau saya membuat stok makanan beku saya sekaligus membuat ebi furai , chicken nugget dan hamburg/burger patties . Cuma belakangan si Aa udah mulai jarang tidur siang, jadi sudah tidak bisa lama-lama mencuri waktu membuat stok makanan lagi.

Rindu Menjahit

Belakangan ini rindu sekali belajar menjahit lagi, sayang sekali masih belum ketemu waktu yang pas. Kakak masih pulang cepat dari TK, adik juga masih harus selalu ditemenin main. Tapi karena sudah tidak tahan saya nekat memotong kain untuk membuat gaun. Sayang sekali belum selesai juga, Insya Allah nanti diapdet kalau sudah selesai. Sementara menanti momen yang pas, saya ubek-ubek lagi foto jadul pertama kali kena menjahit. Membuat perlengkapan sekolah kakak dan beberapa dress dari kain sarung bantal untuk latihan.     Melihat foto-foto ini jadi semakin ingin belajar menjahit....hikkksss.     Tas bekal, luncheon mat, dan cuttlery wallet tas jinjing sekolah TK untuk membawa buku cerita baju karung dari kain spanduk versi ikat pinggang (baseball punya suami hi3) baju karung dari kain spanduk dress anak dari bahan sarung bantal dress wanita, belajar menjahit rempel (gak tau istilah teknisnya)