Skip to main content

Menulis sebagai Healing

Saya mulai menulis di blog ini tahun 2007. Saat itu baru saja menikah dan pindah ke Tokyo. Memulai hidup baru di tempat asing, meskipun hati penuh dengan semangat memulai petualangan bersama suami, tentu saja terselip keraguan apakah mampu menjalani peran baru sebagai istri.

Kalau dipikir-pikir, saya berdua suami benar-benar tipe nekat tanpa banyak berpikir panjang, apalagi membuat perencanaan. Saya mengambil cuti panjang dari pekerjaan, dan suami masih mahasiswa tapi nekat menikah. Tentu saja kami khawatir, apakah kami berdua bisa mendapat pekerjaan sebelum kehabisan tabungan?

Menulis di blog membantu saya melintasi garis kehidupan, tujuan menulis berubah sesuai dengan hidup yang saya jalani. Tapi yang pasti, menulis membantu saya menjalani hidup dengan perasaan yang lebih stabil.

Menulis untuk Mengalihkan Perhatian

Ya, awal menulis blog sebenarnya untuk mengalihkan perhatian dari berbagai kekhawatiran. Sembari mencari pekerjaan, saya mulai membacai kisah-kisah para senpai alias senior orang Indonesia yang menikah dengan wna Jepang yang sudah tinggal lebih dulu di Jepang. 

Tapi saya belum sepenuhnya merasa menjadi bagian dari para senpai itu, karena kami masih tinggal di rumah petak kontrakan dekat asrama kampus (suami adalah kakak kelas di universitas yang sama). Jadi sehari-hari kami masih bergaul erat dengan kakak atau adik kelas dari kampus.

Biasanya, setelah pulang dari acara kumpul dengan teman-teman mahasiswa, mood yang tadinya riang penuh canda tawa langsung melorot jongkok. Menyadari kalau kami sudah berbeda, karena mereka masih aman dengan uang beasiswa atau kiriman dari orang tua masing-masing, sementara kami sudah harus serius memikirkan masa depan.

Nah, saat itulah saya lalu membuka laptop, browsing lowongan kerja, mengedit resume, dan tentu saja blogwalking di Multiply. Sedikit-sedikit saya mulai menulis hari-hari yang dilalui dengan perasaan tak pasti. Saat bertemu mantan dosen di kampus untuk makan malam, sambil bercanda saya merajuk, "Wah, Sensei....ternyata begini rasanya kalau sudah lulus tapi belum dapat pekerjaan, waktu luang adalah masalah besar!".

Menulis untuk Menepis Kesepian

menulis-karena-kesepian

Beberapa bulan berlalu, saya masih juga belum mendapatkan pekerjaan, sementara uang tabungan semakin menipis. Beruntung, suami bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu sembari menyelesaikan thesisnya. 

Satu demi satu teman-teman kami yang sudah menyelesaikan kuliahnya kembali ke negara masing-masing. Ah, baru terasa kalau saya yang memilih untuk menetap di Jepang akan selalu mengucapkan "selamat jalan", menjadi pihak yang selalu melepaskan seseorang dan ditinggalkan.

Di masa ini, saya mulai memikirkan seorang bayi. Ah, kalau ada seorang bayi tentu saya akan disibukkan dengan mengurusnya. Tapi di sisi lain saya tentu bimbang, dengan kondisi ekonomi yang masih belum jelas, bagaimana caranya nanti kami akan menghidupi bayi kami?

Blogwalking saat itu sudah ngeluyur kemana-mana, mencari tulisan wanita Indonesia yang tinggal di luar negeri dan menjalani masa kehamilan sendirian, jauh dari keluarga besar. Berharap menemukan teman sehati dalam menjalani hari-hari yang penuh ketidakpastian.

Menulis untuk Mencurahkan Perasaan

Lalu datanglah momen itu, saat tiba-tiba saya mendapatkan keduanya dan harus memilih. Akhirnya saya mendapatkan pekerjaan sebagai Comptroller di sebuah bank multinasional. Di saat yang sama, saya dinyatakan hamil di luar kandungan. Pihak rumah sakit menyarankan menunggu 2 minggu untuk melihat perkembangan kehamilan. Jika calon janin tidak juga masuk ke rahim, operasi adalah jalan keluar satu-satunya. 

Ya Allah, bagaimana saya harus memutuskan? dalam 2 minggu menunggu vonis dokter kandungan, saya juga harus menjalani masa orientasi pegawai baru. 

Mendapat kabar melalui multiply kalau istri seorang rekan mahasiswa baru saja menjalani operasi karena hamil di luar kandungan, saya mantap memutuskan tidak meneruskan orientasi dan mengundurkan diri. 

Menunggu 2 minggu dalam ketidakpastian terasa amat sangat panjang. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk menulis mencurahkan perasaan. Hingga kemudian kabar itu datang, calon janin akhirnya masuk ke dalam rahim dan saya dinyatakan hamil!

Menulis untuk Memantapkan Pemahaman

Hari-hari selanjutnya diisi dengan belajar dari pengalaman orang lain yang hamil dan melahirkan di Jepang. Tentu saja saya selalu menulis setiap selesai check-up rutin kehamilan sampai ke detilnya. Meskipun pada dasarnya yang dilakukan adalah sama; menanti, tapi menanti kelahiran dengan menanti vonis untuk operasi tentu berbeda bukan?

Rasa optimisme mendorong saya untuk lebih serius belajar bahasa Jepang. Rajin mengunjungi perpustakaan pemerintah daerah, atau mengunjungi perpustakaan kampus sebagai alumni. Biasanya apa yang dipelajari hari itu juga jadi topik tulisan, dan menuliskannya memantapkan pemahaman. 

Herannya, saya masih juga belum memulai interaksi dengan sesama calon ibu, lebih dari sekedar membacai tulisan-tulisan mereka di Multiply.

Menulis untuk Menggoreskan Kenangan

Bayi yang kami nantikan lahir juga. Proses persalinan panjang tidak luput saya tulis di blog. Saya tidak melewatkan untuk menuliskan segala hal tentang sang bayi, dari pemilihan nama, proses laktasi, MPASI, dan segala hal yang dilakukannya pertama kali.

Bayi pertama beranjak besar, disusul kehamilan anak kedua dan berulang kembali kisah pemeriksaan, menyiapkan kelahiran, proses persalinan, pemilihan nama, dan seterusnya dan seterusnya. Tidak ada yang terlewatkan untuk dituliskan.

Begitu pula saat bayi pertama terus tumbuh dan tahu-tahu sudah masuk TK, kegiatan sehari-hari sebisa mungkin dituliskan jida ada kesempatan. Ketika bayi pertama sudah menjadi seorang murid SD, seorang bayi lahir lagi di tengah kami.

Hari-hari yang sibuk! Membantu mengerjakan PR, mengantar jemput ke TK, mengejar-ngejar bayi yang merangkak kesana kemari lari dari ibunya yang hendak memakaikan popok. Memasak pagi siang sore, menyapu mengepel menggosok WC, mengantuk tertidur bangun tengah malam tidur lagi dan kesiangan. Kejadian yang susul menyusul seperti ombak laut yang sedang pasang.

Tapi jika sejenak saja surut datang, saya akan duduk menuliskan apa yang terbaik untuk diingat dari hari itu. Hari-hari yang sibuk dan terasa amat sangat panjang, ternyata kalau tersusun dalam deretan goresan kenangan yang ditulis selama bertahun-tahun terasa seperti hanya sekelebatan!

Menulis untuk Menemukan Jati Diri

15 tahun berlalu dan saya masih menulis di blog yang sama. Meski kadang beranjak dan curhat di tempat lain. Hari-hari pun sudah jauh lebih berwarna dibanding hari itu ketika saya menulis blog untuk pertama kalinya. Saya rutin bertemu teman sesama ibu rumah tangga, bergaul dengan tetangga dan aktif di komunitas daerah,  bergotong royong mengurus klub baseball anak-anak, menjalani berbagai macam hobi dari baking, gardening, sampai pottery.

Tetap saja saya kembali ke blog ini. Menulis kali ini terasa sebagai aktivitas menemukan jati diri. Menengok separuh perjalanan hidup, kadang perasaan dipenuhi dengan nostalgia. Tidak melulu kenangan manis, karena kadang terlintas pula rasa bersalah, seharusnya saat itu saya begini atau begitu. Tapi hey, masih ada separuh perjalanan lagi untuk dituliskan.

Seperti apakah kisah yang akan saya goreskan besok atau lusa?

Entahlah, tapi challenge menulis setiap hari masih ada dua hari lagi hihi.


Comments

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b

Menyurangi Resep Ebi Furai

Salah satu makanan favorit keluarga adalah furai atau gorengan, terutama ebi furai. Biasanya kalau saya membuat stok makanan beku saya sekaligus membuat ebi furai , chicken nugget dan hamburg/burger patties . Cuma belakangan si Aa udah mulai jarang tidur siang, jadi sudah tidak bisa lama-lama mencuri waktu membuat stok makanan lagi.

Rindu Menjahit

Belakangan ini rindu sekali belajar menjahit lagi, sayang sekali masih belum ketemu waktu yang pas. Kakak masih pulang cepat dari TK, adik juga masih harus selalu ditemenin main. Tapi karena sudah tidak tahan saya nekat memotong kain untuk membuat gaun. Sayang sekali belum selesai juga, Insya Allah nanti diapdet kalau sudah selesai. Sementara menanti momen yang pas, saya ubek-ubek lagi foto jadul pertama kali kena menjahit. Membuat perlengkapan sekolah kakak dan beberapa dress dari kain sarung bantal untuk latihan.     Melihat foto-foto ini jadi semakin ingin belajar menjahit....hikkksss.     Tas bekal, luncheon mat, dan cuttlery wallet tas jinjing sekolah TK untuk membawa buku cerita baju karung dari kain spanduk versi ikat pinggang (baseball punya suami hi3) baju karung dari kain spanduk dress anak dari bahan sarung bantal dress wanita, belajar menjahit rempel (gak tau istilah teknisnya)