Skip to main content

Noren Batik

Noren adalah sejenis tirai yang dipasang non permanen, biasanya di pintu masuk restoran. Biasanya noren dipasang untuk menandakan restoran sudah buka, dan diturunkan saat menutup restoran.

Contoh noren:



恄恄恆恮Ꚗē°¾ļ¼ˆć®ć‚Œć‚“ļ¼‰ę­£é¢å†™ēœŸ
gambar diambil dari sini 
Saya berniat membeli noren untuk menutup jendela ruang tatami  (tikar mendong yang dibingkai kayu dan dipasang sebagai lantai untuk japanese room) di rumah, tapi ternyata sulit menemukan ukuran yang pas. Kalau pesan, gak sanggup mahalnya, bukan apa-apa, jendela hanya diberi tirai saat musim panas saja. Selain itu, tirai tidak diperlukan karena jendela sudah ditutup shoji (jendela sorong berangka kayu, dilapisi kertas shoji berwarna putih, tekstur mirip kertas kaligrafi Jepang). Saat musim panas sengatan matahari menembus shoji dan ruang tatami pun jadi silau dan gerah!

Jendela shoji:


Kebetulan saya masih menyimpan kain batik oleh-oleh dari teman di Jakarta. Saya eman-eman mau dibikin rok atau tunik, tapi gak pede secara saya selalu gagal bikin lubang leher atau lengan. Akhirnya dengan berat hati kain batik saya gunting seukuran bingkai jendela, dan sisa kain dibuat 10 setrip, dijadikan piping dan dijahitkan mengapit kain batik. Sangat simpel dan cepat kelar karena cuma menjahit lurus saja.

Noren yang sudah jadi, dihampar di atas lantai tatami.


Lalu saya memasang paku hook di sisi kanan kiri bagian atas bingkai jendela. Untuk menggantung noren, saya menggunakan sebatang bambu kecil bekas penopang pohon zaitun di kebun. Meski sudah retak dan melengkung tapi masih kuat dan ukurannya pas, baik panjang maupun diameternya.

Meggantung noren menggunakan bambu dan paku hook.



Akhirnya jadi noren batik yang cantik (kata teman saya, sexy menerawang, karena bingkai rangka shoji nya kelihatan membayang). Alhamdulillah, terkesan ringan dan natural, senafas dengan prinsip japanese room yang sederhana, non permanen, dan alami.



Comments

  1. ternyata bikinnya simple banget ya mba asalkan kita kreatif :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, yang penting fungsinya, pekerjaannya dibuat sesimpel mungkin soalnya males hehehe

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b...

Mak Rempong dan SIM Jepang

Buku-buku materi kursus mengemudi Alkisah, saya seorang Mak Rempong di usia 40-an dengan 3 orang anak (9 tahun, 5 tahun, dan 2 tahun) merengek meminta Me Time ala Mamah Muda kepada suami. Suami menyambut gembira, bersedia menjaga anak-anak di rumah, tapi me time yang ditawarkan adalah kursus mengemudi!

Menyepi di Pusat Ginza

  I  have come a long way. Seharusnya ada banyak tulisan yang mendahului tulisan ini, karena saya terbiasa untuk bercerita runut, semacam OCD dalam kegiatan ngeblog . Tapi tulisan ini tidak bisa menunggu. lorong yang panjang menuju cafe, diambil dari tabelog Akhirnya hari ini saya memasuki lorong itu. Sebuah lorong kecil menuju sebuah cafe yang luas, dalam sebuah gedung menghadap perempatan Ginza yang ramai. Hari Sabtu, Ginza dibebaskan dari kendaraan yang biasaya berlalu-lalang dengan sibuk. Semacam car free day di Jakarta. Dan dari sudut cafe yang menghadap jendela besar ini, saya bisa mengamati tindak tanduk para wisatawan pejalan kaki, yang asik berfoto, berdiri tercenung menatap peta di layar smartphone , atau yang berjalan mantap menuju tempat tujuannya. Mengapa Ginza? Ah, panjang sekali ceritanya. Singkatnya, Pada suatu hari saya terpikir untuk bekerja paruh waktu. Setelah berpuluh tahun berkutat dengan hobi yang melulu di rumah, saya memutuskan...