Skip to main content

Saya, IKEA, dan Kukusan

関連ē”»åƒ
Kukusan Idaman,
gambar diambil dari sini
Musim dingin dengan udara yang kering, yang terbayang adalah bakpao. Sayang sekali dandang saya yang merupakan "peninggalan" kawan yang pulang ke Indonesia hampir 10 tahun lalu dasarnya gosong kehabisan air. Sudah direndam dengan baking soda pun tetap bandel! Padahal si dandang andalan ini ukurannya besar, 36 cm! Melihat-lihat dandang dengan ukuran yang sama, apalagi ditambah dengan kukusan bambu bersusun, aduh harganya mana tahaaaan!


Satu-satunya panci besar di rumah adalah yang berukuran 23 cm, pemberian mertua. Panci besar tapi dangkal, sudah bertahun-tahun bulukan di lemari karena saya tidak menemukan penggunaan yang pas. Yang terpikir adalah menggunakannya sebagai dandang dasar kukusan, lalu menambahkan kukusan bertumpuk. Jadi meskipun panci dasar diameternya kecil, tetap bisa mengukus banyak bakpao!

Masalahnya kemudian adalah, mencari kukusan tumpuk yang pas ukurannya, murah meriah. Si kukusan bambu cantik idaman saya terpaksa dieliminasi di tahap awal, karena mahal dan perawatannya ribet. Kukusan alumunium juga terpaksa dieliminasi, karena konon alumunium kurang bagus untuk kesehatan jika memasak yang mengandung asam dll. Pencarian dilanjutkan ke kukusan stainless steel berukuran 23 cm, dijual tanpa tutup dan kalau bisa harganya tidak melebihi 1000 yen!

Setelah mengubek-ubek jagad toko perabot dapur online, dapatlah si produk ideal ini!

商品ē”»åƒ1

Harganya sedikit diatas 1000 yen, tapi ongkos kirimnya lebih dari 700 yen! Sayangnya produk ini adalah produk IKEA! Kalau beli langsung di IKEA harganya sekitar 900 yen saja. Tapiiiiii, jujur saya paling anti belanja di IKEA! Penyebabnya mungkin karena ekspektasi berlebihan ketika IKEA pertama kali buka di Tokyo, yang kebetulan bertepatan dengan pindahan ke rumah KPR. Maklum lagi semangat mengisi rumah, bermacam toko furniture diubek mencari produk idaman. Nah, barang-barang IKEA sendiri sering kami lihat online dan penasaran kepingin buru-buru melihat aslinya. Di Jepang selain Tokyo IKEA sudah lebih dulu membuka cabang, kenapa kok Tokyo belum juga ya?

Ternyata, karena layout IKEA itu beda sekali dengan toko furniture Jepang yang mungil-mungil, IKEA membutuhan lahan yang luas. Memang IKEA di Tachikawa itu juga sangat luas, dan arus pengunjung dibuat sedemikian rupa sehingga mengalir melalui setiap showroom-nya, ruang tamu dengan banyak sofa, dapur dengan beberapa kitchen set, perabotan dapur yang bertumpuk-tumpuk berlimpah ruah, kain-kain yang menjuntai dan melambai dimana-mana! Diperparah dengan antusiasme pengunjung yang berjubelan. Akhirnya kami mepet sana mepet sini demi bisa keluar. Sialnya, jalan keluar adalah deretan kasir yang terpusat di lantai satu berbentuk gudang! Ruangan luas dengan langit-langit menjulang diisi tumpukan barang-barang yang membuat saya merasa kepingin mengitarinya sambil naik forklift! Barang yang kami beli hari itu cuma piring, gelas dan sendok plastik untuk piknik. Barang paling murah dan satu-satunya yang saya inget direkomendasikan di Interesse (sisipan tabloid lifestyle dari Nikkei Shinbun). Saya pun misuh-misuh, tidak akan pernah belanja di IKEA! Saya juga sadar, orang jadul seperti saya memang cocoknya belanja di toko bangunan alias Home Center!

Yah, benar juga kalau orang bilang, never say never! Buktinya saya nekat menggeret suami dan anak-anak berangkat ke IKEA hanya untuk membeli 2 buah kukusan. Tidak usah lah diceritakan betapa ribet dan ributnya acara belanja hari itu. Sampai di rumah semua lelah, semua marah menyalahkan saya yang ngotot pengen ke IKEA. Oh saya juga cape, saya juga lelah, ditambah malu karena telah menjilat ludah sendiri. Tapi siapa yang tidak senang bisa memecahkan 2 masalah genting di dapur; panci pemberian mertua yang tidak pernah dipakai dan kukusan yang ternyata begitu pas berjodoh! alhamdulillaaaah.

Panci yang selama ini diabaikan

Panci dan kukusan yang kini bermanfaat sekali

Suami dan anak-anak yang lelah dan marah mah, tinggal disogok pake bakpao ajah!!

Comments

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b...

Mak Rempong dan SIM Jepang

Buku-buku materi kursus mengemudi Alkisah, saya seorang Mak Rempong di usia 40-an dengan 3 orang anak (9 tahun, 5 tahun, dan 2 tahun) merengek meminta Me Time ala Mamah Muda kepada suami. Suami menyambut gembira, bersedia menjaga anak-anak di rumah, tapi me time yang ditawarkan adalah kursus mengemudi!

Menyepi di Pusat Ginza

  I  have come a long way. Seharusnya ada banyak tulisan yang mendahului tulisan ini, karena saya terbiasa untuk bercerita runut, semacam OCD dalam kegiatan ngeblog . Tapi tulisan ini tidak bisa menunggu. lorong yang panjang menuju cafe, diambil dari tabelog Akhirnya hari ini saya memasuki lorong itu. Sebuah lorong kecil menuju sebuah cafe yang luas, dalam sebuah gedung menghadap perempatan Ginza yang ramai. Hari Sabtu, Ginza dibebaskan dari kendaraan yang biasaya berlalu-lalang dengan sibuk. Semacam car free day di Jakarta. Dan dari sudut cafe yang menghadap jendela besar ini, saya bisa mengamati tindak tanduk para wisatawan pejalan kaki, yang asik berfoto, berdiri tercenung menatap peta di layar smartphone , atau yang berjalan mantap menuju tempat tujuannya. Mengapa Ginza? Ah, panjang sekali ceritanya. Singkatnya, Pada suatu hari saya terpikir untuk bekerja paruh waktu. Setelah berpuluh tahun berkutat dengan hobi yang melulu di rumah, saya memutuskan...