Skip to main content

Nasib Ibu Pengangguran dan Ibu Paruh Waktu

Teman saya yang bekerja, pernah mengeluhkan "Kenapa siy musti istilahnya full-time mom? emangnya aku part-time mom?". Sebenernya saya juga pengen nambahin curhatannya, "Hooh, kenapa juga istilahnya Ibu Bekerja? kesannya kan aku pengangguran". Tapi gak jadi dong, kan saya pas kebetulan jadi yang dicurhatin, mosok malah nambahin curhatan!

Sebenernya saya tidak keberatan dengan istilah yang manapun, karena saya tau maksudnya sama. Ibu yang tidak bekerja di luar rumah karena seharian mengurus bayi dan balita di rumah dan memasrahkan tugas menafkahi keluarga kepada suaminya. Sementara ibu yang bekerja di luar rumah bekerja menafkahi keluarga, perawatan dan pengasuhan bayi saat ia bekerja didelegasikan kepada asisten, penitipan anak maupun kakek nenek. Pembahasan ini terlalu disederhanakan, karena kita tau kita bekerja di luar rumah atau berkarir itu tidak melulu tujuannya "menafkahi keluarga".

Lalu kenapa segala istilah dan pelabelan maupun pencitraan ini menjadi "mommy war"? terus terang saya sendiri tidak pernah merasa menjadi korban mommy war secara langsung. Maksudnya saya tidak pernah "diserang" secara verbal oleh ibu bekerja atau "menyerang" secara verbal ibu bekerja (mohon maaf kalau ternyata ada yang merasa saya serang, baik tersirat maupun tersurat ya). Dugaan saya siy, mungkin karena saat kita sedang merasa insecure, telinga kita cenderung mendengar "suara suara" yang tidak ingin kita dengar. Istilahnya, some words sometimes only sound louder even when it's not the truth!

Menurut saya, sudah sifat manusia selalu fokus pada hal yang TIDAK kita miliki. Sebagai ibu rumah tangga, saya tidak bekerja di luar maupun di dalam rumah (work at home maksudnya), tidak punya penghasilan sendiri, jadi suka agak tersinggung kalau dianggap saya pengangguran. Saya bekerja keras kok di rumah, cuma memang tidak mendapat "gaji" dari suami maupun anak-anak saya. Justru waktu saya semua difokuskan untuk keluarga lho, dengan input  yang lebih besar, boleh dong saya optimis nanti output nya lebih baik? Maksudnya lebih baik daripada jika saya mendedikasikan lebih sedikit input, orang lain mungkin bisa lebih baik walaupun dengan sedikit input karena kapasitas setiap orang itu berbeda. Tapi jelas saya memang tidak punya yang namanya "financial independence", sekalipun saya dapat uang bulanan dari suami, kecuali uang bulanan itu saya terima dari tangan atasan atau pelanggan, iya kan?

Dugaan saya, ibu bekerja yang merasa "dilabeli" part-time mom juga sama dong, waktu untuk mengasuh anak yang "dikorbankan" di luar rumah toh tertebus dengan quality time saat berada di rumah. Percuma saja mendedikasikan 24 jam di rumah tapi isinya cuma mengurus urusan yang bisa dikerjakan asisten, sementara pendidikan anak begitu begitu aja! tidak efektif dan tidak efisien!

Nah, terasa kan "aroma sengit mommy war"? Tapi kalau saya membaca atau mendengar "curhat" mommies mau yang full-time maupun part-time kok sama ya? semua merasa diserang! Jarang sekali saya membaca curhatan yang isinya "penyerangan" terhadap kubu lawan.

Menurut saya lagi, ini mungkin sudah sifat wanita. Entah kenapa senang sekali memposisikan diri sebagai "korban". Padahal, kalau saja mau fokus pada hal yang kita miliki, ibu bekerja seharusnya bangga karena memberikan teladan kepada anak-anaknya, bagaimana bekerja keras dan berkomitmen pada karir yang dipilihnya. Begitu juga ibu rumah tangga seharusnya bangga karena dapat "menikmati" lebih banyak waktu bersama keluarga tanpa harus merasa kondisi keuangannya "terancam". Tapi bangga beda lho ya dengan sombong.

Lalu bagaimana menyikapi hal yang tidak kita miliki? disini saya hanya bisa menjawab untuk diri saya sendiri. Saya sadar saya tidak punya "financial independence" tapi di sisi lain saya punya "idle capacity". Sering terpikir untuk meng-komersilkan idle capacity itu, walaupun sekarang malah melempem. Belakangan saya malah "tergoda" untuk "menyumbangkan" idle capacity itu ke masyarakat, jadi tetep gak mungkin punya "financial independence".

Anyway, biar nyambung dengan tema "stop mommy war", mari kita fokus pada hal-hal yang kita miliki, dan yakinlah anak-anak kita akan mencintai kita apa adanya. Seperti kita tidak menuntut mereka menjadi anak yang sempurna, mereka juga tidak menuntut kita menjadi ibu yang sempurna. Memangnya siapa yang menuntut kita menjadi ibu sempurna? ya diri kita sendiri! itu sudah menjadi naluri seorang ibu, ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya. Sedikit saja melenceng dari pencitraan kita tentang ibu yang sempurna, maka kita akan merasa tidak nyaman dan mencari kambing hitam. Ibu-ibu, tidak ada gunanya menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan diri sendiri!

gambar diambil dari sini

By the way, di Jepang kini PM Abe sedang meluncurkan anak panah terakhir dari 3 strateginya untuk memperbaiki ekonomi Jepang; meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan menggalakan program pemberdayaan wanita. Seperti apa programnya?

  1. Menyelesaikan masalah kurangnya penitipan anak di Jepang, jadi tidak ada istilah ibu yang "terpaksa" di rumah karena tidak ada yang mengasuh anak selama bekerja
  2. Mendorong iklim ketenagakerjaan yang memungkinkan lebih banyak wanita menempati posisi manajerial
  3. Mempermudah akses kepada ibu yang cuti panjang untuk merawat anaknya kembali bekerja
  4. Mengupayakan supaya keahlian yang diperoleh selama merawat, mengasuh dan mendidik anak yang dimiliki para ibu dapat menjadi lahan usaha
selengkapnya lihat disini.

Bagus bukan? ( mudah-mudahan berhasil, gambatte ne Abe souri daijin!) Dengan sedikit support maka semua ibu, dengan pilihannya masing-masing, dapat memberikan sumbangsih pada perekonomian negara. Tidak digembar-gemborkan juga kita sudah tau kan ya, Ibu-ibu! so stop mommy war, or may be we don't need to, it never existed!

Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Every mom has a story #stopmomwar

Comments

  1. tetap saja ya mba, mau ibu bekerja di luar rumah, kerja di dlm rumah atau pun sebagai IRT, ibu adalah madrasah utk anak2nya. Jadi apapun profesi seorg ibu, anak2 tetaplah yg utama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, dan tekanan untuk menjadi ibu sempurna itu yang sungguh berat dan kadang kontraproduktif, makanya kita perlu saling menguatkan. terimakasih sudah mampir :)

      Delete
  2. Ah kerennnn!
    PM Abe jg keren.. Jd wonder apakh jepn kekurangan tenaga kerja shg perlu menciptakan iklim yg kondusif bg ibu utk bekerja? Apakah aegitu besarnya peran perempuan dalam perbaikan perekonomian di jepang?

    ReplyDelete
  3. Sekarang kondisi memang kekurangan tenaga kerja din, karena demografi yang menua dan pasar tenaga kerja yang kurang fair sama tenaga kerja asing. Terus perempuan Jepang itu rata-rata berpendidikan tinggi tapi sayang biasanya kalau sudah menikah dan punya anak lebih fokus di rumah, dan baru kembali bekerja setelah anak-anak besar, disebut M curve, terdalam ceruknya diantara negara-negara maju lainnya. Makanya "rekomendasi" IMF untuk mendongkrak ekonomi Jepang adalah dengan menghilangkan cerukan ini, mempermudah bagi para wanita yang ingin tetep kerja setelah fokus merawat anak, begitulah kira2....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ouww, harus baca lebih banyak nih, Jepang jadi 'pasien' IMF juga toh... :p

      Delete
    2. Siapa yang bukan pasien IMF? :) aku rekomendasiin http://asia.nikkei.com/ berita singkat2 asal apdet ajah, maklum gue sekedar tau aja, kalo mau ngerti mungkin perlu baca yang lebih serius

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b

Menyurangi Resep Ebi Furai

Salah satu makanan favorit keluarga adalah furai atau gorengan, terutama ebi furai. Biasanya kalau saya membuat stok makanan beku saya sekaligus membuat ebi furai , chicken nugget dan hamburg/burger patties . Cuma belakangan si Aa udah mulai jarang tidur siang, jadi sudah tidak bisa lama-lama mencuri waktu membuat stok makanan lagi.

Rindu Menjahit

Belakangan ini rindu sekali belajar menjahit lagi, sayang sekali masih belum ketemu waktu yang pas. Kakak masih pulang cepat dari TK, adik juga masih harus selalu ditemenin main. Tapi karena sudah tidak tahan saya nekat memotong kain untuk membuat gaun. Sayang sekali belum selesai juga, Insya Allah nanti diapdet kalau sudah selesai. Sementara menanti momen yang pas, saya ubek-ubek lagi foto jadul pertama kali kena menjahit. Membuat perlengkapan sekolah kakak dan beberapa dress dari kain sarung bantal untuk latihan.     Melihat foto-foto ini jadi semakin ingin belajar menjahit....hikkksss.     Tas bekal, luncheon mat, dan cuttlery wallet tas jinjing sekolah TK untuk membawa buku cerita baju karung dari kain spanduk versi ikat pinggang (baseball punya suami hi3) baju karung dari kain spanduk dress anak dari bahan sarung bantal dress wanita, belajar menjahit rempel (gak tau istilah teknisnya)