Skip to main content

Gardening; antara impian dan kenyataan (2)

Setelah memasang konblok alakadarnya di area 1 dan 3, barulah saya dan tetangga saya memikirkan area 2. Seperti tergambar di denah yang saya tampilkan pada bagian satu, area 2 merupakan tempat terpenting. Mengapa?
karena area 2 lah yang dapat kami nikmati dari dalam rumah melalui jendela besar dari ruang tamu dan ruang tatami. Setelah berbincang beberapa lama, diputuskanlah kami ingin membuat pargola yang menghadap ke jendela ruang tamu, lalu wood deck memanjang yang menghubungkan jendela ruang tamu dan ruang tatami. Sebenarnya mereka menyarankan saya menutup semua lahan dengan wood deck, tapi saya keberatan. Bukan apa-apa, mahalnya membeli kayu sebanyak itu! belum lagi saya malas membersihkan kolong wood deck yang susah dijangkau dengan tangan. Akhirnya pilihan jatuh pada pemasangan konblok murmer lagi, hanya saja saya dapat masukan bagus; usahakan jalan masuk itu berkelok karena memberikan kesan jarak yang ditempuh itu lebih panjang, dan menciptakan ilusi halaman yang luas.

Penampakan area 2 yang difoto dari balkon seperti layang-layang putus......ļ»æ

Tahap selanjutnya adalah pembuatan pargola dan papangge (kalau kata orang sunda) atau engawa (kalau kata orang Jepang). Dikerjakan sedikit demi sedikit setiap akhir pekan oleh para ayah, sementara kami ibu2 dan anak2 asik berkumpul, masak bersama, makan bersama, main bersama.



papangge yang lebarnya disesuaikan dengan konblok yang sudah tepasang


pargola yang memaksa konblok dibongkar dan dipasang ulang
Selesai sudah pekerjaan saya bertukang menyiapkan halaman yang bebas rumput. Melihat-lihat kembali kondisi halaman sebelum dan sesudah dikerjakan, lega dan puas!

Tidak ada lagi acara membabat rumput seperti ini!

sudah jauh lebih baik kan?

ļ»æ
tanah becek dan akses yang terbuka ke jalan besar
menghalangi akses dengan teralis dan sebatang pohon, mengurangi
tanah becek dengan memasang batu dan rumput di sisi kanan kiri jalan setapak

Tugas kami selanjutnya tinggal membayangkan seperti apa wujud halaman yang diinginkan. Lebih bagus lagi kalau secara visual, sehingga teman saya dapat dengan mudah memilihkan jenis tanaman yang sesuai, juga penempatan tanaman sesuai dengan kondisi tanah dan sinar matahari. Harus banyak browsing dan menghayal lagi.....

Sebelumnya:


Selanjutnya


ļ»æ
ļ»æ

Comments

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b...

Mak Rempong dan SIM Jepang

Buku-buku materi kursus mengemudi Alkisah, saya seorang Mak Rempong di usia 40-an dengan 3 orang anak (9 tahun, 5 tahun, dan 2 tahun) merengek meminta Me Time ala Mamah Muda kepada suami. Suami menyambut gembira, bersedia menjaga anak-anak di rumah, tapi me time yang ditawarkan adalah kursus mengemudi!

Menyepi di Pusat Ginza

  I  have come a long way. Seharusnya ada banyak tulisan yang mendahului tulisan ini, karena saya terbiasa untuk bercerita runut, semacam OCD dalam kegiatan ngeblog . Tapi tulisan ini tidak bisa menunggu. lorong yang panjang menuju cafe, diambil dari tabelog Akhirnya hari ini saya memasuki lorong itu. Sebuah lorong kecil menuju sebuah cafe yang luas, dalam sebuah gedung menghadap perempatan Ginza yang ramai. Hari Sabtu, Ginza dibebaskan dari kendaraan yang biasaya berlalu-lalang dengan sibuk. Semacam car free day di Jakarta. Dan dari sudut cafe yang menghadap jendela besar ini, saya bisa mengamati tindak tanduk para wisatawan pejalan kaki, yang asik berfoto, berdiri tercenung menatap peta di layar smartphone , atau yang berjalan mantap menuju tempat tujuannya. Mengapa Ginza? Ah, panjang sekali ceritanya. Singkatnya, Pada suatu hari saya terpikir untuk bekerja paruh waktu. Setelah berpuluh tahun berkutat dengan hobi yang melulu di rumah, saya memutuskan...