Gambar diambil dari : http://www.amazon.co.jp |
Tokoh utama buku ini, nama panggilannya Fabri, adalah seorang pria Italia yang menikah dengan seorang wanita Jepang, petugas imigrasi. Walaupun pertemuan pertama adalah di pesawat dalam penerbangan menuju Italia, tapi kisah percintaan justru dimulai ketika kebetulan mereka bertemu lagi di kantor keimigrasian Jepang, gara-gara Fabri telat mengurus perpanjangan visa!
Akar atau daun adalah dialog yang muncul saat pasangan ini membicarakan tentang pola pendidikan anak-anak mereka. Sang istri berkeras anak mereka masuk sekolah internasional, berbahasa Inggris dan menjadi generasi borderless, dunia tanpa batas negara maupun budaya. Fabri (yang kalau di Indonesia sudah pasti masuk Ikatan Suami Takut Istri) ini menolak ide sang istri. Alasannya, anak itu bagaikan sebatang pohon. Kalau ingin menjadikannya berdaun rindang, maka akarnya harus dipupuk supaya kuat menghunjam ke dalam tanah. Jika kita mendorong anak tumbuh dalam budaya asing tanpa lebih dulu mengenalkannya pada budaya lokal, maka alih-alih menjadi generasi borderless, mereka akan menjadi generasi rootless. Akhirnya sang istri mengalah, dan menyetujui si anak masuk TK dan SD lokal, baru kemudian masuk sekolah internasional di tingkat SMP. Perlu dicatat, ritual agama dan kebudayaan maupun nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat sangat terintegrasi dalam pendidikan di TK dan SD.
gambar diambil dari: http://atmatome.jp/u/atasan/44jnll0/ |
Membaca novel percintaan dan acara memasak bersama chef ganteng ini membuat saya berpikir, bagaimana caranya supaya anak-anak saya tetap mempunyai akar budaya yang kuat. Dalam kedua kasus diatas, terlihat bahwa akar budaya terkait erat dengan budaya asal IBU. Fabri yang orang Italia justru tidak mengajarkan bahasa Italia pada anak-anaknya, dan mendorong agar mereka dibesarkan dalam budaya Jepang. Sayangnya saya tidak bisa juga meneladani ibunda Kou Kentetsu yang chef profesional. Sebagai koki di rumah, masakan saya tidak bisa digolongkan secara hitam putih: masakan Indonesia atau masakan Jepang. Karena selalu saja ada bahan yang terpaksa diganti, atau bahkan dihilangkan dari resep aslinya. Begitu juga dengan ritual budaya, saya tidak bisa mengajak anak-anak merasakan meriahnya berbagai macam perayaan, baik perayaan masyarakat Indonesia maupun masyarakat Jepang. Saya tidak begitu tertarik dengan ritual Jepang, dan kurang mendapat/memanfaatkan akses untuk mengikuti perayaan khas masyarakat Indonesia.
Mungkin jika saya benar-benar bertekad, mengerahkan segala daya upaya, segenap jiwa raga, saya bisa membawa anak-anak ke lingkungan yang berbudaya Indonesia, walaupun hanya melalui masakan, atau dongengan anak. Lupakan bahasa Indonesia, karena walaupun berbahasa Indonesia dengan anak-anak, tetap saja kosakata mereka hanya terbatas percakapan sehari-hari. Jika kelak mereka menjadi dokter atau insinyur atau seniman atau apapun bidangnya, istilah teknis yang digunakan mereka untuk berpikir pasti bukan dalam bahasa Indonesia, kecuali saya berhasil menyekolahkan mereka di sekolah Indonesia (atau di homeschooling dengan bahasa Indonesia). Kadang upaya saya terhenti hanya karena lintasan sesaat, it may not worth the sweat. Saya mungkin diam-diam percaya bahwa ada sisi-sisi dalam karakter anak yang tidak terpengaruh oleh lingkungan, budaya sekitar, bahkan pola asuh. Saya juga seorang pragmatis, daripada tertekan memikirkan apa yang HARUS saya lakukan, saya lebih memilih leye-leye dan mengerjakan apa yang BISA saya lakukan.
Kenyataannya anak-anak adalah campuran Indonesia dan Jepang, mungkin tidak akan bisa murni Jepang atau Indonesia. Terlintas bacaan tentang budidaya apel di Jepang. Untuk mendapatkan apel dengan kualitas yang diinginkan, bukan dengan menanam biji si apel lalu menunggunya tumbuh dan berbuah, tapi dengan menyetek bagian dari pohon apel tersebut, lalu ditempelkan ke akar pohon apel yang sudah mapan. Mungkin yang seperti itu yang bisa menjadikan seorang Amerika menjadi pesinden yang mumpuni (lebih sunda dari saya yang orang sunda), atau seorang gaijin (orang asing di Jepang) yang lebih paham bushido (nilai kehidupan samurai) daripada orang Jepang asli. Sementara saya biarkan saja anak-anak tumbuh dalam lingkungan rumah dan keluarga kami, dengan nilai-nilai yang kami comot dari sana-sini sesuai dengan kebutuhan kami, dan masakan ibunya yang masuk kategori abu-abu!
Ah kerennnn. Sebagai anak yg tumbuh di pinggiran kota besar, gw juga suka merasa gaman ga punya identitas i. Mama yg asli minang besar di bandung dan papa yg berdarah ponorogo besar di madiun ga pernah sekalipun memasukkan unsur budaya daerah ke pengasuhan. Ya bisa dimaklumi terlalu sibuk menuhin kebutuhansehari-hari. Makany bapaknya sekarang getol ajak liburan k madiun yg masih ada nuansa desanya,sedikit. Still, ga menjawab isu yg elo tulis di sini ya. Guess at some point in life, people have a need to know their root. Gitu bukan yaa
ReplyDeleteiya kurleb. Gue kadang lebih terikat ke budaya di keluarga dibanding lingkungan yah...karena jarang bergaul. Ya mungkin sama yah, orangtua sibuk banting tulang, paling pulkam lebaran. Yang nempel di kepala mungkin cuma kedekatan dengan sungai, gunung, kolam ikan dan ladang. Plus, masjid yang dikelilingi sawah, piket menimba air untuk bak wudhu masjid, lomba cerama berhadiah mangga atau rambutan dari kebun pak ustadz. yang seperti ini yang susah mendapatkannya sekarang....kecuali gue keluar agak jauh dari rumah....ke pusat kota tempat adanya kegiatan2 masyarakat Indonesia misalnya
ReplyDelete