Sebelum keburu hamil adik dan tumbang karena morning sickness yang parah, saya sempat bergabung duduk melingkar dalam pengajian dua mingguan di sebuah keluarga pasangan Pakistan-Jepang di Tokorozawa. Teringat "tips" dari si empunya rumah, memperkenalkan islam kepada anak-anak itu harus disesuaikan dengan perkembangan usia dan nalar anak-anak.
Saya lupa persisnya, tapi seingat saya sebelum usia 3 tahun itu adalah saatnya "mengisi" kepala anak melalui peneladanan dan kisah-kisah karena saat itu mereka hanya "menyerap" segala informasi. Diatas usia 3 tahun mereka mulai menemukan "logika" sederhana, sebelum mengerti "mengapa" akan sulit untuk mengarahkan mereka.
Benar saja, itu hal yang saya alami dengan Kakak. Setelah puas dengan pertanyaannya tentang apa dan mengapa yang tak pernah putus, kini Kakak sudah memasuki dunia "analisis". Hal yang saya sadari ketika dia bertanya, "Ibu, siapa sih manusia pertama di dunia ini?". Karena kami sudah membahas rukun iman termasuk nabi dan rasul, saya jawab, "Lho kan Kakak sudah tahu, Nabi Adam". Kakak mendengus kesal, "Bukan muslim pertama atau nabi pertama, Bu! tapi MANUSIA pertama!".
Tersadarlah saya, Kakak sudah memahami yang namanya "ideologi" dan sumbernya, sekaligus membandingkan dengan apa yang ada di lingkungan sekitarnya. Sedikit banyak, Kakak sudah tahu, her place in this world, dimana kira-kira tempatnya di dunia ini. Mungkin sebagai salah satu konsekuensi menjadi berbeda di lingkungan masyarakat Jepang yang homogen. Dengan singkat saya mengulangi lagi tentang penciptaan dan awal kehidupan dari al-Quran, kali ini saya kontraskan dengan teori evolusi. Pertanyaan selesai sampai disitu, tapi radar saya terlanjur menyala dan sensitif mengamati celetukan-celetukan Kakak selanjutnya.
Celetukan Kakak yang terbaru adalah tadi malam, saat kebetulan saya memperkenalkan satu surat pendek baru, kali ini surat Al Maauun. Salah satu rutinitas sebelum tidur adalah berdoa, lalu membaca surat al Ikhlas, al Falaq, an Naas dan al Fatihah. Terakhir Kakak memilih satu surat bebas yang ingin dibaca. Kalau sedang bagus mood-nya saya kemudian memperkenalkan surat pendek baru. Saya membacakan isi suratnya dan menjelaskan artinya sesuai dengan tafsir sederhana yang saya pegang. Kemudian saya tekankan tentang pentingnya melakukan perbuatan baik, sekecil apapun, kepada keluarga, teman, tetangga dan orang-orang di sekitar kita. Lalu Kakak nyeletuk "iya, aku pernah meminjamkan handuk untuk melap kaki dan tangan ke temanku, soalnya dia lupa bawa. Kakak juga pernah diambilkan air minum sama teman, karena lupa bawa botol minum. Padahal, mereka BUKAN MUSLIM lho!". Oia, istilah si Kakak buat teman-teman Jepangnya itu, jinjaa ni iku hito orang yang sembahyang di kuil shinto.
Saya pun mengingatkannya kembali tentang ar Rahman dan ar Rahiim, bahwa Allah mengasihi semua mahkluk ciptaannya, semua manusia yang terlahir ke muka bumi ini, baik mereka yang mengenal-Nya, mengimani-Nya, maupun yang menolak-Nya. Hanya saja, Allah secara khusus akan mengistimewakan mereka yang mengimani-Nya, beribadah kepada-Nya dan banyak berbuat kebaikan pada sesamanya kelak di akhirat nanti. Jadi, seperti Allah, kita harus menyayangi semua manusia di dunia ini.
Kakak sepertinya mulai mengelompokkan believer dan non believer sejak bisa membaca surat an Nasr, tentang pertolongan Allah memenangkan kaum muslimin dan sifat Allah yang menerima taubat. Saya menjelaskan, Kakak tidak boleh berputus asa, keburukan apapun yang terlanjur dilakukan akan dimaafkan Allah jika bertaubat, tidak mengulanginya, dan ikhlas menjalani hukumannya (kosep pahala dan dosa, reward and punishment, atau gohoobi dan bachi dalam bahasa Jepang). Saya menekankan, cuma satu dosa yang tidak dimaafkan Allah, yaitu Sirk, walaupun beribadah kepada Allah tapi juga menuhankan sesuatu selain Allah. Saat itulah Kakak menyadari perbedaan agama, perbedaan keyakinan dengan teman-temannya.
Perbedaan ini sempat membuatnya selalu resah. Karena kegiatan sekolah TK Jepang pada umumnya bertujuan menanamkan kebudayaan Jepang, ritual tahunan dan pengetahuan sederhana tentang siklus alam termasuk cuaca, musim dan makhluk hidup, khususnya tanaman dan serangga. Hampir semua ritual tahunan berakar dari shinto (walaupun suami tak setuju, karena menurutnya itu hanya sekedar melestarikan adat istiadat leluhur secara turun temurun, bahkan kadang ada juga pemutakhiran ritual baru). Tapi Kakak terlanjur resah, karena terkadang ikut mengatupkan tangan dan berdoa seperti di kuil shinto. Saya sudah mengkomunikasikan hal ini dengan wali kelasnya, yang kemudian menjawab, "Saya mengerti sekali, karena saya juga penganut kristen, Bu". Saya sedikit lega, karena minimal Ibu Guru pasti mengerti "menjadi berbeda" dan "tantangan" menganut agama monotheis. Hal yang sangat jarang di Jepang, karena bagi mereka ritual yang dilaksanakan sama sekali tidak terkait agama tertentu, menikah dengan pernikahan gereja kristen, merayakan kelahiran anak di kuil shinto, dan terakhir meninggal lalu dimakamkan dengan prosesi agama budha. Keresahan Kakak saya tepis dengan pengertian iman yang luas, lebih dari 70 definisi, kecil dan besar bahkan menyingkirkan duri di jalanan saja adalah bentuk iman yang ada di dalam hati. Saat tangan dan kaki terbelenggu atau terpaksa sekalipun, usahakan hati kita menghadap Allah. Meskipun kita adalah orang yang lemah, semoga kita tetap termasuk orang-orang yang beriman. Aamin.
Kelemahan diri ini yang tak jarang membuat saya malu, bahkan berputus asa. Mungkin Kakak juga merasakannya. Belum lama ini Kakak pernah curhat. "Bisa gak ya Kakak bertemu Allah. Ingin cepat meninggal biar bertemu Allah. Hayaku shinde, Allah ni aitai!". Meskipun kaget sekaligus bingung bagaimana menjawabnya, saya ternyata refleks tertawa dan menjawab, "Memangnya yang cepet meninggal cepet bisa ketemu Allah? yang cepat meninggal maupun yang lama hidup baru meninggal bisa ketemu Allah, asalkan kita selalu berusaha untuk terus hidup dan beramal baik, isshoukenmei ikiteiku no ga daiji dayo!"
Semua celetukan-celetukan Kakak sering berkelebatan di kepala, membuat saya juga banyak berpikir, meresapi kehidupan spiritual kami yang dibandingkan keluarga lain sangat tipis. Itupun kadang masih timbul tenggelam di sela-sela remeh temeh rutinitas sehari-hari. Saat saya merasa di titik terendah, saya berusaha mengingatkan diri sendiri, kehidupan spiritual itu bukan untuk "berniaga" dengan Allah. Ada banyak ayat dalam al Quran yang menekankan amal salih itu balasannya adalah surga. Segala kesulitan dan kepenatan dalam hidup, yang hakikatnya adalah untuk beribadah akan mendapatkan balasan yang adil. Tapi selain hitung menghitung yang bisa memerangkap kita menjadi senang membangga-banggakan hitungan amal sendiri di depan manusia, atau malah jatuh berputus asa karena merasa bergelimang dosa, kita harus ingat bahwa rahmat dan ampunan Allah juga bisa menyelamatkan kita dari menjadi orang yang merugi. Hingga hembusan nafas terakhir kita, masih selalu ada risiko sekaligus kesempatan, terlepas dari sudah seberapa banyak pahala maupun dosa yang sudah kita lakukan. Semoga kami tidak berputus asa. Semoga kami termasuk orang-orang yang diampuni dan dirahmati Allah. Aamiin.
Saya lupa persisnya, tapi seingat saya sebelum usia 3 tahun itu adalah saatnya "mengisi" kepala anak melalui peneladanan dan kisah-kisah karena saat itu mereka hanya "menyerap" segala informasi. Diatas usia 3 tahun mereka mulai menemukan "logika" sederhana, sebelum mengerti "mengapa" akan sulit untuk mengarahkan mereka.
Gambar diambil dari sini |
Tersadarlah saya, Kakak sudah memahami yang namanya "ideologi" dan sumbernya, sekaligus membandingkan dengan apa yang ada di lingkungan sekitarnya. Sedikit banyak, Kakak sudah tahu, her place in this world, dimana kira-kira tempatnya di dunia ini. Mungkin sebagai salah satu konsekuensi menjadi berbeda di lingkungan masyarakat Jepang yang homogen. Dengan singkat saya mengulangi lagi tentang penciptaan dan awal kehidupan dari al-Quran, kali ini saya kontraskan dengan teori evolusi. Pertanyaan selesai sampai disitu, tapi radar saya terlanjur menyala dan sensitif mengamati celetukan-celetukan Kakak selanjutnya.
Celetukan Kakak yang terbaru adalah tadi malam, saat kebetulan saya memperkenalkan satu surat pendek baru, kali ini surat Al Maauun. Salah satu rutinitas sebelum tidur adalah berdoa, lalu membaca surat al Ikhlas, al Falaq, an Naas dan al Fatihah. Terakhir Kakak memilih satu surat bebas yang ingin dibaca. Kalau sedang bagus mood-nya saya kemudian memperkenalkan surat pendek baru. Saya membacakan isi suratnya dan menjelaskan artinya sesuai dengan tafsir sederhana yang saya pegang. Kemudian saya tekankan tentang pentingnya melakukan perbuatan baik, sekecil apapun, kepada keluarga, teman, tetangga dan orang-orang di sekitar kita. Lalu Kakak nyeletuk "iya, aku pernah meminjamkan handuk untuk melap kaki dan tangan ke temanku, soalnya dia lupa bawa. Kakak juga pernah diambilkan air minum sama teman, karena lupa bawa botol minum. Padahal, mereka BUKAN MUSLIM lho!". Oia, istilah si Kakak buat teman-teman Jepangnya itu, jinjaa ni iku hito orang yang sembahyang di kuil shinto.
Saya pun mengingatkannya kembali tentang ar Rahman dan ar Rahiim, bahwa Allah mengasihi semua mahkluk ciptaannya, semua manusia yang terlahir ke muka bumi ini, baik mereka yang mengenal-Nya, mengimani-Nya, maupun yang menolak-Nya. Hanya saja, Allah secara khusus akan mengistimewakan mereka yang mengimani-Nya, beribadah kepada-Nya dan banyak berbuat kebaikan pada sesamanya kelak di akhirat nanti. Jadi, seperti Allah, kita harus menyayangi semua manusia di dunia ini.
Kakak sepertinya mulai mengelompokkan believer dan non believer sejak bisa membaca surat an Nasr, tentang pertolongan Allah memenangkan kaum muslimin dan sifat Allah yang menerima taubat. Saya menjelaskan, Kakak tidak boleh berputus asa, keburukan apapun yang terlanjur dilakukan akan dimaafkan Allah jika bertaubat, tidak mengulanginya, dan ikhlas menjalani hukumannya (kosep pahala dan dosa, reward and punishment, atau gohoobi dan bachi dalam bahasa Jepang). Saya menekankan, cuma satu dosa yang tidak dimaafkan Allah, yaitu Sirk, walaupun beribadah kepada Allah tapi juga menuhankan sesuatu selain Allah. Saat itulah Kakak menyadari perbedaan agama, perbedaan keyakinan dengan teman-temannya.
Perbedaan ini sempat membuatnya selalu resah. Karena kegiatan sekolah TK Jepang pada umumnya bertujuan menanamkan kebudayaan Jepang, ritual tahunan dan pengetahuan sederhana tentang siklus alam termasuk cuaca, musim dan makhluk hidup, khususnya tanaman dan serangga. Hampir semua ritual tahunan berakar dari shinto (walaupun suami tak setuju, karena menurutnya itu hanya sekedar melestarikan adat istiadat leluhur secara turun temurun, bahkan kadang ada juga pemutakhiran ritual baru). Tapi Kakak terlanjur resah, karena terkadang ikut mengatupkan tangan dan berdoa seperti di kuil shinto. Saya sudah mengkomunikasikan hal ini dengan wali kelasnya, yang kemudian menjawab, "Saya mengerti sekali, karena saya juga penganut kristen, Bu". Saya sedikit lega, karena minimal Ibu Guru pasti mengerti "menjadi berbeda" dan "tantangan" menganut agama monotheis. Hal yang sangat jarang di Jepang, karena bagi mereka ritual yang dilaksanakan sama sekali tidak terkait agama tertentu, menikah dengan pernikahan gereja kristen, merayakan kelahiran anak di kuil shinto, dan terakhir meninggal lalu dimakamkan dengan prosesi agama budha. Keresahan Kakak saya tepis dengan pengertian iman yang luas, lebih dari 70 definisi, kecil dan besar bahkan menyingkirkan duri di jalanan saja adalah bentuk iman yang ada di dalam hati. Saat tangan dan kaki terbelenggu atau terpaksa sekalipun, usahakan hati kita menghadap Allah. Meskipun kita adalah orang yang lemah, semoga kita tetap termasuk orang-orang yang beriman. Aamin.
Kelemahan diri ini yang tak jarang membuat saya malu, bahkan berputus asa. Mungkin Kakak juga merasakannya. Belum lama ini Kakak pernah curhat. "Bisa gak ya Kakak bertemu Allah. Ingin cepat meninggal biar bertemu Allah. Hayaku shinde, Allah ni aitai!". Meskipun kaget sekaligus bingung bagaimana menjawabnya, saya ternyata refleks tertawa dan menjawab, "Memangnya yang cepet meninggal cepet bisa ketemu Allah? yang cepat meninggal maupun yang lama hidup baru meninggal bisa ketemu Allah, asalkan kita selalu berusaha untuk terus hidup dan beramal baik, isshoukenmei ikiteiku no ga daiji dayo!"
Semua celetukan-celetukan Kakak sering berkelebatan di kepala, membuat saya juga banyak berpikir, meresapi kehidupan spiritual kami yang dibandingkan keluarga lain sangat tipis. Itupun kadang masih timbul tenggelam di sela-sela remeh temeh rutinitas sehari-hari. Saat saya merasa di titik terendah, saya berusaha mengingatkan diri sendiri, kehidupan spiritual itu bukan untuk "berniaga" dengan Allah. Ada banyak ayat dalam al Quran yang menekankan amal salih itu balasannya adalah surga. Segala kesulitan dan kepenatan dalam hidup, yang hakikatnya adalah untuk beribadah akan mendapatkan balasan yang adil. Tapi selain hitung menghitung yang bisa memerangkap kita menjadi senang membangga-banggakan hitungan amal sendiri di depan manusia, atau malah jatuh berputus asa karena merasa bergelimang dosa, kita harus ingat bahwa rahmat dan ampunan Allah juga bisa menyelamatkan kita dari menjadi orang yang merugi. Hingga hembusan nafas terakhir kita, masih selalu ada risiko sekaligus kesempatan, terlepas dari sudah seberapa banyak pahala maupun dosa yang sudah kita lakukan. Semoga kami tidak berputus asa. Semoga kami termasuk orang-orang yang diampuni dan dirahmati Allah. Aamiin.
semoga tetap istiqamah Mak. Memang sulit berada di tengah kaum yang bukan mayoritas seiman dengan kita. Tetapi kalau saya memandangnya dari sudut yg erbeda, bahwa menjadi minortas dan terbatas, terkdang merupakan keuntungan tersendiri. bandingkan dengan di sin, dimana kita mayoritas, justru banyak ortu yang lalai menanamkan akidahnya kepada anak-anak, karena merasa aman dn nyaman. Jadi, berusaha untuk selalu istiqamah di jalannya spt yang Mak lakukan dengan anak-anak, itu sudah hebat. salam kenal
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir, salam kenal juga. Aamin. Terima kasih dukunganya. Pertama merawat anak rasanya setiap hari perjuangan, sampai kadang kepingin menyerah pulang kampung kalau sudah ingat akidah. Makin hari makin sulit, tapi sekarang mudah-mudahan tidak sekalang kabut sebelumnya. Semoga bukan sekadar karena berkompromi apalagi terlena, naudzubillah.
Deletesebagao ibu hrs siap dgn pertanyaan mngejutkan semacam itu ya mak, salut deh bs mbiasakan anak baca surah sbelum tdr
ReplyDeleteIya, sering kaget dan bingung menjawabnya. Sudah jawab suka takut salah. Semoga Allah selalu memberikan petunjuk-Nya, aamiin. Membaca surah sebenernya karena si Kakak ini gak suka dibacain buku kalau mau tidur, maunya ibunya mendongeng. Pernah baca ada ibu yang mendongengkan kisah dari al-quran jadi terinspirasi dan ternyata anaknya suka :)
DeleteSubhanallah ya si kakak mak..semoga jadi anak sholeh ya nak...
ReplyDeleteAamiin, terima kasih doanya, semoga menjadi kebaikan untuk yang mendoakan.
ReplyDeleteKakak anak Ibu bener nih.. pertanyaan"nya filosofis banget.. gimana rasanya ketemu 'kembaran' i? :p
ReplyDeletehaha...mudah2an jangan plek2 kayak mamanya deh...harus lebih baik :D
ReplyDeletebanyak seninya ya mba membesarkan anak di negeri jepang yang animismenya kuat....salut.
ReplyDeleteiyaaa, kadang takut tergerus :(
Delete