gambar diambil dari: http://www.kumon.org/ |
membantunya menjaga keseimbangan, sekarang tinggal bersepeda menggiringnya dari belakang, sambil mulut ribut mengingatkan tetap di jalur kiri, melihat cermin di pojokan jalan sebelum belok kiri, plus menengok ke belakang sebelum belok kanan, maju pelan-pelan atau bahkan berhenti jika berpapasan dengan sepeda lain dan lain sebagainya.
Saat bersepeda dengan Kakak ke ujung komplek, kami melihat spanduk-spanduk Kumon yang menawarkan les percobaan gratis. Ada beberapa orang teman Kakak di sekolah yang sudah ikut les Kumon dari sejak setahun lalu. Kakak pun sering bilang kepingin ikut les Kumon, sambil menyanyikan jingle iklan Kumon dari TV. Tapi kami tidak juga mengabulkannya, pertama alasan biaya, dan keduanya hampir bisa dipastikan kakak bakal bosan. Padahal teman-temannya minimal sudah les renang, bahasa Inggris atau piano. Karena lokasi dekat rumah apalagi gratis, saya mengiyakan walaupun sambil lalu, dan ternyata terus ditagih. Akhirnya 2 minggu lalu saya mendaftarkannya di kelas percobaan itu. Alhamdulillah gratis 4 kali les, dan si kakak berangkat les dengan riang naik sepeda pink-nya, gembira mengerjakan PR Kumonnya yang segambreng. Saya coba semua mata pelajaran yang ditawarkan, matematika, bahasa Jepang dan bahasa Inggris, mumpung GRATIS!
Kemarin saat kami berangkat wawancara dengan gurunya, kami sudah sepakat akan mendaftarkannya les matematika saja. Ternyata ibu Guru punya pendapat lain, kalau hanya ingin les satu mapel saja, beliau menyarankan les bahasa Jepang. Mengapa? karena ternyata menurut pengamatan beliau, kakak tidak kesulitan menjawab soal persamaan matematika tetapi tidak mengerti saat persamaan matematika itu diekspresikan menjadi soal cerita. Saya pun tersadar, saya yang bukan penutur bahasa Jepang mungkin akan kesulitan jika mendampingi kakak mengerjakan PR nanti kalau sudah SD. Akhirnya kami mendaftarkan kakak untuk les matematika dan bahasa Jepang.
Karena selama uji coba si kakak hanya les sekitar 30 menitan padahal untuk 3 mapel, saya yang pelit ini bertanya kepada ibu Guru, dengan biaya les yang 3 kali lipat karena untuk 3 mapel, kenapa waktu belajarnya tidak 3 kali lipat juga? Dengan senyum penuh "pengertian" ibu Guru menjawab:
"Karena prinsip kami, banyaknya bahan ajar yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan konsentrasi anak, Bu. Kalau bisa konsentrasi penuh selama 10 menit saja, ya dipilihkan sebanyak yang bisa diselesaikan dalam 10 menit. Saat anak sudah mulai memiliki rentang konsentrasi yang lebih panjang, kami pun akan menyesuaikan"
Saya sadar memang kakak mah cuma bisa 10 menitan duduk diam kalau belajar dengan saya, kalau misalnya saya paksakan lebih panjang kelihatan deh mulai fidgeting, mainin pinsil lah apa lah yang kebetulan ada di dekatnya, tidak lagi berkonsentrasi penuh mendengarkan saya yang sudah bernafsu hendak mencerdaskannya. Cieeee.....
Satu lagi ucapan bu Guru yang terus terngiang hingga sekarang:
"Ibu tenang saja, serahkan anak Ibu untuk belajar bersama kami. Ibu tidak perlu membantunya menjawab atau mengoreksi jawaban PR yang salah. Tugas Ibu yang terpenting adalah menjaga supaya mood-nya kalau berangkat kumon bagus, ceria dan gembira. Dan jangan sampai dalam kondisi fisik yang buruk, misalnya kelelahan, lapar atau mengantuk".
Terakhir, penekanan dari Bu Guru, sambil memperlihatkan buku pelajaran matematika dan bahasa Jepang SD kelas satu:
"Saat ini fokus kita adalah mempersiapkan kakak supaya nanti dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan percaya diri. Awalnya memang kakak akan dibimbing pelan-pelan, tapi pelajaran akan semakin sulit dan penyampaiannya semakin cepat. Kalau semenjak awal sudah merasa tidak percaya diri, maka akan semakin sulit berkonsentrasi. Sementara kalau saat memulainya kakak percaya diri, misalnya nanti pelajaran semakin sulit dan menjadi beban, toh kakak mungkin sudah terbiasa dengan lingkungan sekolah, memiliki teman-teman bermain di sekolah yang menjadi penyemangat untuk tetap berangkat ke sekolah dengan gembira. Mood anak lah yang terpenting, kesulitan pelajaran tinggal dipikirkan penyelesaiannya oleh kita orang dewasa, sebagai orangtua dan gurunya".
Dalam perjalanan pulang, walaupun selama wawancara saya merasa argumen bu Guru meyakinkan, tetap saja saya merasa telah menjadi korban pemasaran Kumon, mau beli satu jadi beli dua. Dengan entengnya suami menepisnya, "yah kalau nanti berat di dompet atau si kakak bosan ya tinggal berhenti saja!". Lah iya ya....
Comments
Post a Comment