Mungkin sebagian besar para ibu menjawab, Ya.
Saya tuh bisa dibilang sering merasa menjadi seorang ibu yang gagal.
Daftar Isi
Mengapa ibu merasa gagal
Kapan ibu merasa gagal
Merasa gagal dan sendirian
Perlukah merasa gagal
We may have lost the battle but we haven’t lost the war
Pick your battles!
Kesimpulan
Mengapa ibu merasa gagal
Dulu saya sering merasa gagal sebagai seorang ibu karena sering membandingkan anak saya dengan anak orang lain. Lama lama saya mulai membandingkan diri sendiri dengan ibu ibu lainnya yang anaknya lebih segala galanya daripada anak anak saya. Akhir-akhir ini saya membandingkan target target parenting saya dengan hasil yang tampak pada anak-anak.
Sepertinya sebagian besar ibu sudah menyadari ya kalau membandingkan anak-anak maupun diri sendiri dengan orang lain itu tidak baik, tidak ada gunanya, dan hanya membuat stres atau malah depresi. Tapi membandingkan target parenting dengan hasilnya terasa natural. Ini yang namanya evaluasi, bukan? Sebagai ibu kita mengevaluasi pilihan parenting yang kita lakukan, apakah hasilnya sesuai harapan. Jika ya, maka kita teruskan atau malah kita tingkatkan. Jika tidak, maka kita coba modifikasi atau mencari alternatif yang kita anggap baik.
Kapan ibu merasa gagal
Jadi, ceritanya begini.
Saya merasa gagal kalau anak anak memilih main game ketimbang baca buku karena saya adalah orang yang senang membaca. Jadi anak-anak sedari kecil saya usahakan senang membaca, misalnya di read aloud dari bayi, dibacakan buku cerita sebelum tidur, sering dibawa ke perpustakaan, kalau ke mall tidak lupa diajak mampir ke toko buku, dihadiahi buku di hari spesial, dan tentu saja saya menyediakan buku di mana-mana di seluruh ruangan dalam rumah.
Berhasilkah?
Bisa dibilang berhasil lah kalau ukurannya si Kakak. Dia termasuk senang membaca buku, sering juga rikues buku-buku bacaan. Dari SD sampai sekarang SMP dia selalu jadi petugas perpustakaan di sekolah dan lain-lain menurut ukuran keberhasilan ala saya.
Tapi sejak tahun lalu saya kasih pegang hape, aktivitas membacanya turun drastis. Yang dibaca hanya hape-nya, mending kalau ebook atau artikel yang bermanfaat, ini hanya sekedar baca update Line Grup! Kakak tidak salah juga sih, saya yang salah memutuskan memberi membelikan hape. Tahun lalu saat kami sekeluarga kena Corona dan harus karantina, saya tidak tega melihat si kakak sama sekali terputus komunikasi dengan teman temannya karena dia belum saya kasih pegang hape.
Si Adek? sangat berhasil! Adek suka membaca apa saja sampai segala macam ensiklopedia dibacanya. Dia termasuk yang interest-nya cepat berubah. Kalau sudah puas mengetahui apa yang dia minati, dia akan beranjak ke minat baru, begitu terus-menerus. Awalnya karena diajak melihat penangkaran penyu. Lalu dia membaca segala macam tentang penyu, terus meluas ke cumi-cumi, ikan laut, makhluk laut dalam, dan lain sebagainya. Terakhir, dia senang membaca tentang pesawat terbang dan operasional bandara. Belum lagi kegemarannya melihat-lihat bendera negara, kepala negara, dan sedikit sejarah negara-negara di dunia. Tapi mungkin karena bacaan itu belum sesuai dengan umurnya, kadang pemahamannya nyeleneh, misalnya sat dia bercerita tentang negara-negara yang kuat-kuatan di perang dunia ke-2, dan Amerika sebagai pemenangnya, gaya ceritanya seakan-akan perang dunia adalah Olimpiade dan Amerika Serikat adalah negara dengan pengumpul medali emas terbanyak!
Tapi belakangan si Adek sudah jarang membaca buku, dan mulai main game!
Merasa gagal dan sendirian
Apa penyebabnya?
Tidak lain dan tidak bukan ayahnya sendiri alias suami saya yang seharusnya menjadi patner saya dalam membesarkan anak. Awalnya saya tidak keberatan kalau suami saya mengajak si Aa, anak tengah kami yang anti membaca, main game bareng. Memang dari masih bayi dia tidak begitu tertarik ketika dibacakan buku. Tentu saja dia juga tidak tertarik dengan buku-buku yang kami letakkan di mana mana itu, kecuali buku-buku khusus, semisal buku kain, buku teka-teki semacam where’s Wally? atau buku yang dilengkapi mainan yang berbunyi, tapi itu juga hanya sampai usia TK.
Alasan suami saya mengajak main game adalah karena menurutnya tidak semua game itu buruk, bahkan banyak game yang sifatnya edukatif. Ngomong ngomong, saya amat membenci game, kecuali board game atau mungkin beberapa jenis permainan card game di rumah juga kami sediakan banyak permainan ini, saya dan suami juga tadinya kompak mengajak anak anak main. Memang saya lihat si Aa sejak main game bareng ayahnya mulai tertarik mengenal huruf, mulai membaca cerita yang tertulis di layar, bahkan membeli buku buku tentang strategi main game dan membacanya berulang ulang.
Tapi akhirnya si Aa jadi hobi main game. Kalau sekolah libur, bisa bisa seharian main game dan bukan hanya Aa bahkan adek juga ikut-ikutan hobi main game!
Nah, saat saya merasa gagal total itu adalah ketika sehabis makan malam suami mengajak Aa dan Adek main game bareng. Mereka kelihatan seru, kadang bertengkar, kadang saling meledek, tapi terus tertawa bersama. Sementara saya sibuk merutuki diri sendiri sambil mencuci piring-piring yang kotor di dapur. Saya merasa gagal dan merasa sendirian. Ini terus menurus berlangsung setiap hari dari semenjak si aa masuk TK sampai dia sekarang kelas lima SD!
Perlukah merasa gagal
Kata orang orang kegagalan adalah sukses yang tertunda.
Motivasi yang bagus untuk terus mencoba hingga berhasil, tapi kalau kegagalan terus berulang setiap hari lama lama menggerus rasa percaya diri saya sebagai seorang ibu.
Bukankah seorang ibu lah yang paling tahu tentang anaknya? Lalu mengapa saya tidak bisa mengarahkan anak sendiri? Berarti saya adalah ibu yang tidak becus ibu yang gagal.
Perasaan tidak becus dan perasaan tidak berdaya itu bukannya dikomunikasikan dan dicarikan jalan keluarnya bersama-sama, tapi dikeluarkan dalam bentuk kegalakan saya menjadi polisi game di rumah. Aturan main game diperketat menggunakan aplikasi yang kalau aturan tidak dipenuhi, misalnya pelanggaran batas waktu main game, layar akan terkunci otomatis. Tentu saja diiringi dengan omelan panjang lebar, tidak hanya kepada anak anak tapi juga kepada suami.
Apakah ada hasilnya?
Awalnya ya, tapi namanya aturan yang ditegakkan dengan paksaan dan omelan, lama lama anak terbiasa diomeli. Omelan mereka baikan, akibatnya hukuman harus ditingkatkan menjadi semakin keras dan omelan semakin sering. Bisa ditebak, yang lebih dulu menyerah kalah karena capek adalah yang sering ngomel demi menegakkan aturan! Miris ya?
Akhirnya saya memilih time out, cukup menerapkan aturan aplikasi untuk mengawasi waktu main game. Saya berhenti ngomel, sedikit melayani tawar menawar aturan main game, sambil menyesali mengapa saya menjadi orang tua yang plin-plan.
We may have lost the battle but we haven’t lost the war
Ternyata menyerah memang bukan berarti kalah. Seperti kata peribahasa, we may have lost the bottle but we haven’t lost the war.
Minggu lalu, seorang teman si Aa main ke rumah. Biasa dong, acara janjian main game. Teman si Aa ini orang tuanya menerapkan peraturan zero game, jadi dia memang mengincar waktu main game kalau main ke rumah. Lucunya, sebenarnya orang tuanya tahu loh dan anak ini juga jujur kalau tujuan main ke rumah adalah untuk nebeng nge-game. Sepulang dari rumah kami, anak ini biasa melapor kepada ibunya, tadi main game apa saja di rumah saya. Tebak apa kata ibunya? “Wah, asyik dong! sepertinya seru”. Ih curang ya?
Sambil agak kesal, hari itu saya biarkan mereka main game 15 min menit, lalu saya ajak main baseball ke taman dekat perpustakaan. Anak ini dan juga anak anak saya memang aktif main baseball meski berbeda klub. Kalau di Indonesia biasanya anak-anak harus pulang ke rumah masing masing sebelum adzan Maghrib berkumandang dari speaker masjid, maka di Jepang, anak-anak harus pulang sebelum melodi mengalun dari speaker yang dipasang Pemda di mana-mana. Nah, karena saat ini sudah mulai masuk musim gugur, sekitar 16.30 melodi sudah berbunyi dan hari sudah mulai gelap.
Karena sedang asik main tapi keburu harus pulang, anak-anak yang masih belum puas main itu minta mampir ke perpustakaan yang baru tutup 05.00 sore. Dengan semangat saya mengantar mereka. “Memang ibu bawa kartu perpustakaanku?”, si Aa ragu. Oh, saya boleh lupa bawa kartu kredit, tapi kartu-kartu perpustakaan saya dan anak anak selalu berderet di dalam dompet! hahaha.
Disini lah saya merasa terharu, si Aa ternyata sudah punya buku yang dia incar. Dia minta diajarkan menggunakan mesin pencari perpustakaan, lalu menuju lokasi di mana buku itu disimpan. Temannya yang ternyata rajin juga ke perpustakaan juga meminjam buku serial detektif favoritnya, nebeng kartu purpustakaan Aa. Dan adek dengan percaya diri menggunakan kartu perpustakaannya sendiri mencari buku sendiri, lalu menyerahkannya ke petugas perpustakaan.
Keharuan saya tidak sampai disitu, buku yang dipinjam Aa berjudul “permainan tradisional”. Ketika saya tanya mengapa pinjam buku itu, dia menjawab,
Karena aku ingin tahu anak anak jaman dahulu itu sebelum ada game mereka main apa sih?
Sesimpel itu ternyata jalan pikiran anak-anak. Berbeda dengan saya yang besar tanpa main game, yang menganggap game adalah racun, anak anak memandang game hanya sebagai salah satu jenis permainan. Memang sebagai orang dewasa, kita tahu bahwa game banyak sekali masalahnya, sehingga perlu dibuat berbagai macam aturan untuk meminimalisir pengaruh buruknya, anak anak pun sepertinya mengetahui hal itu, sayangnya tidak banyak alternatif lain yang bisa menandingi keseruan main game. Apalagi kalau kesempatan bermain game sangat langka, membuat pesona main game semakin berlipat-lipat di mata mereka. Ternyata kalau saya sedikit longgar, mereka tidak begitu ngotot seperti biasanya.
Sampai di rumah, Aa membaca buku yang dipinjamnya, lalu mencoba membuat beberapa alat permainan dan sukses memainkannya dengan adek. Lumayan seru juga, meski lebih seru bebikinan-nya, sih.
Besoknya, Aa pergi lagi ke perpustakaan sendiri dan meminjam buku sendiri. Hari ini dia mengembalikan buku-buku ke perpustakaan sendirian, sembari janjian main baseball dengan teman-temannya. Anak laki-laki delapan orang berkumpul dan bermain baseball di lapangan cukup membuat saya puas. Tinggal selangkah lagi; mengajari Aa mencari dan memesan buku buku secara online dan mengambilnya di perpustakaan. Kalau bisa, saya tetap ingin dia membaca buku cerita tapi itu saya simpan untuk pertempuran berikutnya.
Pick your battles!
Dari pengalaman ini, saya mencatat satu hal penting, bahwa membesarkan anak bisa diibaratkan sebagai peperangan bagi kita para ibu, dan memang cocok disebut peperangan karena saya merasa semakin sedikit yang mendukung peran ibu, kalau tidak boleh dibilang justru semakin banyak pihak yang malah memberatkan peran para ibu! Contohnya pihak pemerintah dengan kebijakan pendidikan yang kurang melibatkan orang tua, atau pemerintah yang tidak tegas melindungi anak anak dari serangan industri media, boro-boro pihak swasta yang memang tujuannya hanya keuntungan semata!
Jaman sekarang, seorang ibu merasa dia harus melakukan semuanya sendiri, dengan sempurna, lalu menunjukkan “kinerjanya” dihadapan ibu ibu lain. Mungkin karena pengaruh pendidikan Era kapitalisme yang mengusung prinsip kebebasan, kemandirian, dan persaingan dengan asumsi semua orang memiliki kemampuan yang sama. Padahal prinsip-prinsip itu pada akhirnya hanya membuat manusia selalu merasa sendirian. It’s lonely at the top and miserably lonelier at the bottom!
Kalau membesarkan anak adalah peperangan, maka usaha menegakkan prinsip prinsip parenting bisa diibaratkan sebagai pertempuran-pertempuran yang terus menerus berlangsung. Selayaknya peperangan, para ibu harus memiliki strategi mengumpulkan prajurit atau bala bantuan, dan menggerakkannya. Saya sadar tidak mungkin mengalahkan pesona main game di rumah, jadi alih alih menyerang langsung, bergerilya supaya anak-anak semakin banyak membaca adalah strategi yang lebih jitu.
Kesimpulan
Jadi, merasa gagal adalah hal yang lumrah dialami para ibu sekarang ini, mengingat ibu kebanyakan berjuang sendirian, dan diganduli berbagai macam target parenting. Tapi kegagalan mencapai suatu target milestone tumbuh kembang anak bukan berarti gagal total, karena membesarkan anak adalah tugas besar dan mencakup jangka waktu yang panjang. Tujuan utama setiap ibu adalah membesarkan anak hingga menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan bermanfaat bagi sekitarnya. Keterlambatan mencapai sebuah milestone, misalnya belum bisa ketoilet sendiri, atau seperti saya, anak lebih suka game ketimbang membaca, bukan berarti serta merta kita adalah seorang ibu yang gagal. Apalagi jika kemudian berputus asa, merasa kelak anak anak tidak akan tumbuh seperti yang kita harapkan. Tidak apa mundur satu langkah untuk kemudian bisa maju dua atau tiga langkah!
Comments
Post a Comment