Masa kecil saya sebagian besar dihabiskan di kampung, dimana sekeliling rumah saya adalah saudara dari pihak ibu. Hampir semua anak-anak sekitar rumah adalah sepupu, dan biasanya kami bermain bersama. Banyak sekali permainan yang seru, tapi yang paling saya ingat adalah bermain bola bekel dan congklak. Kedua permainan yang tetap bisa seru meskipun dimainkan berdua saja dengan seorang sepupu perempuan, saat sepupu-sepupu kami yang laki-laki sudah mulai malas mengikutkan kami "anak bawang" dalam permainan mereka.
Saat menginjak usia 11 tahun, kami sekeluarga harus pindah ke Jakarta dan berkumpul dengan Bapak. Saya mulai mengenal permainan anak kota, semisal "game watch", "tama gochi" dan nintendo dengan favorit "Mario Bros", "Tetris" dan "Ninja Turtle". Tapi justru yang paling seru adalah, congklak! Sayangnya congklak dari kampung tidak saya bawa, jadi kami bermain dengan congklak plastik, isinya juga kerang plastik. Sangat berbeda dengan congklak saya yang asli orang kampung, congklak kayu dengan biji kerang (bahasa sundanya kuwuk) yang begitu cantik dan mengkilap, meraup dan menjatuhkan kuwuk ke dalam setiap lubang congklak memberikan sensasi tersendiri. Belum bunyi dentingannya yang khas, apalagi kalau saya menang, waaaah rasanya benar-benar penuh sensasi!
Tapi yang hebat dari permainan congklak di Jakarta adalah, strategi! ternyata bermain congklak di Jakarta memerlukan strategi. Karena lawan main saya di kampung adalah sepupu yang usianya 3 tahun lebih muda, saya tidak pernah memikirkan strategi untuk menang. Sedangkan di Jakarta, lawan saya adalah mbak mahasiswi yang saya tidak pernah menang melawannya. Jangankan menang, saya selalu kalah sampai tak ada sebiji pun sisa kerang yang saya miliki! Saat itu saya baru "ngeh", permainan congklak bukan soal beruntung atau sial, tapi soal berhitung. Karena sebenarnya jumlah kerang dalam setiap lubang congklak itu bisa dihitung kalau kita benar-benar berkonsentrasi, juga kita bisa mengira-ngira dari lubang yang mana kerang harus diraup supaya setiap kerang terakhir selalu jatuh di lubang "lumbung" congklak, dan lawan tidak punya kesempatan sama sekali untuk mendapatkan sebiji pun kerang dan kita bisa menang telak!
Setelah si mbak mahasiswi itu menikah, dan saya pun sudah mulai senang keluyuran ala ABG, saya pun melupakan permainan congklak ini. Sampai tahun lalu, saat saya mendapat kiriman satu set congklak cantik dari seorang teman di Jakarta. Sebuah congklak dengan motif batik dan biji kerang yang mengkilap! Kakak sangat tertarik memainkan congklak ini, sekedar meraup biji kerang, menjatuhkan satu per satu ke dalam lubang congklak dan mendengar bunyi dentingannya yang merdu. Kami pun mulai main congklak, awalnya saya sering mengalah supaya si Kakak merasakan hebatnya sensasi "menang". Ketika saya mulai memperlihatkan strategi main congklak ala Jakarta, ternyata si Kakak malah ngambek atau nangis. Ah, saya baru sadar, congklak memang permainan yang seru, tapi sekedar memiliki perangkat congklak klasik dan strategi yang jitu itu belum cukup, kehadiran lawan yang menantang adalah syarat yang paling penting!
Kelihatannya masih perlu waktu lama sampai saya bisa betul-betul "duel" main congklak dengan si Kakak!
"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Permainan Masa Kecil yang diselenggarakan oleh Mama Calvin dan Bunda Salfa"
Saat menginjak usia 11 tahun, kami sekeluarga harus pindah ke Jakarta dan berkumpul dengan Bapak. Saya mulai mengenal permainan anak kota, semisal "game watch", "tama gochi" dan nintendo dengan favorit "Mario Bros", "Tetris" dan "Ninja Turtle". Tapi justru yang paling seru adalah, congklak! Sayangnya congklak dari kampung tidak saya bawa, jadi kami bermain dengan congklak plastik, isinya juga kerang plastik. Sangat berbeda dengan congklak saya yang asli orang kampung, congklak kayu dengan biji kerang (bahasa sundanya kuwuk) yang begitu cantik dan mengkilap, meraup dan menjatuhkan kuwuk ke dalam setiap lubang congklak memberikan sensasi tersendiri. Belum bunyi dentingannya yang khas, apalagi kalau saya menang, waaaah rasanya benar-benar penuh sensasi!
Tapi yang hebat dari permainan congklak di Jakarta adalah, strategi! ternyata bermain congklak di Jakarta memerlukan strategi. Karena lawan main saya di kampung adalah sepupu yang usianya 3 tahun lebih muda, saya tidak pernah memikirkan strategi untuk menang. Sedangkan di Jakarta, lawan saya adalah mbak mahasiswi yang saya tidak pernah menang melawannya. Jangankan menang, saya selalu kalah sampai tak ada sebiji pun sisa kerang yang saya miliki! Saat itu saya baru "ngeh", permainan congklak bukan soal beruntung atau sial, tapi soal berhitung. Karena sebenarnya jumlah kerang dalam setiap lubang congklak itu bisa dihitung kalau kita benar-benar berkonsentrasi, juga kita bisa mengira-ngira dari lubang yang mana kerang harus diraup supaya setiap kerang terakhir selalu jatuh di lubang "lumbung" congklak, dan lawan tidak punya kesempatan sama sekali untuk mendapatkan sebiji pun kerang dan kita bisa menang telak!
Pura-pura pecong satu saat main congklak melawan si Kakak |
Setelah si mbak mahasiswi itu menikah, dan saya pun sudah mulai senang keluyuran ala ABG, saya pun melupakan permainan congklak ini. Sampai tahun lalu, saat saya mendapat kiriman satu set congklak cantik dari seorang teman di Jakarta. Sebuah congklak dengan motif batik dan biji kerang yang mengkilap! Kakak sangat tertarik memainkan congklak ini, sekedar meraup biji kerang, menjatuhkan satu per satu ke dalam lubang congklak dan mendengar bunyi dentingannya yang merdu. Kami pun mulai main congklak, awalnya saya sering mengalah supaya si Kakak merasakan hebatnya sensasi "menang". Ketika saya mulai memperlihatkan strategi main congklak ala Jakarta, ternyata si Kakak malah ngambek atau nangis. Ah, saya baru sadar, congklak memang permainan yang seru, tapi sekedar memiliki perangkat congklak klasik dan strategi yang jitu itu belum cukup, kehadiran lawan yang menantang adalah syarat yang paling penting!
Kelihatannya masih perlu waktu lama sampai saya bisa betul-betul "duel" main congklak dengan si Kakak!
"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Permainan Masa Kecil yang diselenggarakan oleh Mama Calvin dan Bunda Salfa"
congklak ini menjadi permainan di hampir semua daerah yah Mbak, di daerah kami, kami menyebutnya "kabawa"
ReplyDeleteKebawa itu istilah di sulawesi mbak? or sulteng aja? tinggal liat aturan mainnya ya, sama gak, kalo nasional sama gini bagus juga dibikin turnamen yaaa *ngimpi aja
DeleteAda nggak ya turnamen congklak he he. Perlu ada lomba khusus permainan tradisional nih hi hi. Kalau saya dulu mainnya congklak dari plastik. Mainnya memang butuh strategi.
ReplyDeletecongklak jaman dulu masih bagus ya, terbuat dari kayu kokoh lagi, kalo skrg dari plastik, jelek lagi :)
ReplyDeletemain congklak emang asyiik kadang lupa waktu
ReplyDeletemain congklak emang asyiik kadang lupa waktu
ReplyDeleteKlo di tempat kami, namanya dakonan. Anak2 saya jg msh memainkannya. Yg besar sdh agak pintar mainnya. :)
ReplyDeleteditempatku namanya juga dakonan mbak
ReplyDeleteAih orang sunda juga ya :) AKu juga menyebut biji congklak dengan kuwuk. Terima kasih sudah berpartisipasi ya
ReplyDeleteBagus banget conglak barunyaaa. jaman dulu mah lempeng gitu aja yaa dari plastik atau kayu hihihi :D
ReplyDeletepapan congklaknya keren euy bentuknya, biasanya kan ya cuma lonjong gitu aja ya
ReplyDelete