Meski saya memanggilnya Mang Yuyun, dia bukan paman saya melainkan seorang ajengan atau guru mengaji di kampung. Mang Yuyun mengelola sebuah mesjid tua, dengan sumur yang besar yang kami timba airnya untuk berwudhu, tempat kami mengaji dari siang sepulang sekolah sampai setelah shalat Isya. Masjid merupakan pusat kegiatan kampung kami, bukan hanya tempat beribadah tapi juga tempat bermain sambil belajar anak-anak kampung.
Saya tinggal di kampung sampai menjelang akhir kelas 5 SD, atau tepatnya usia 11 tahun. Sejak saya mulai sekolah, kegiatan baru saya adalah sekitar jam 2 siang berangkat ke masjid. Saya lupa seperti apa jadwal pastinya, yang jelas setelah puas bermain biasanya kami dikumpulkan santri yang lebih besar untuk diajari membaca al-quran, bahasa arab dan tarikh islam. Lalu kami shalat ashar berjamaah. Setelah ashar inilah Mang Yuyun biasanya memimpin kami semua belajar. Yang saya ingat hanyalah membaca kitab berhuruf arab gundul yang sekarang baru saya tahu bahwa saat itu saya belajar ilmu aqaid dan fiqh. Lalu kami pun pulang sebentar ke rumah.
Menjelang maghrib, kami yang perempuan berangkat ke rumah Mang Yuyun yang letaknya tidak jauh dari masjid. Biasanya kami bekerja membantu istri Mang Yuyun di rumahnya. Saya hanya ingat menimba air di sumur, yang nantinya kami pakai sendiri untuk berwudhu sebelum shalat maghrib. Atau memberi makan kambing, kelinci dan marmut peliharaan Mang Yuyun. Saya masih kecil saat itu, kakak santri yang lebih besar mungkin membantu pekerjaan rumah yang lainnya karena Mang Yuyun punya banyak anak dan masih kecil-kecil. Kami tidak membayar uang sepeser pun kepada Mang Yuyun, cukup membantu pekerjaan rumah sekedarnya sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Kami shalat maghrib berjamaah lalu belajar membaca al-quran secara privat, satu santri mengajari satu santri lainnya, di bawah bimbingan Bi Nyai, istri Mang Yuyun. Sampai kemudian adzan Isya berkumandang dan kami pun berangkat bersama ke mesjid untuk bergabung dengan seluruh santri untuk belajar bersama Mang Yuyun. Sesi ini biasanya tentang akhlaq, lagi-lagi bukunya bertuliskan arab gundul, kalau tidak salah namanya Akhlaqul Bain. Saya sekarang bahkan sulit mengingat dimana saya dulu makan malam ya?
Mang Yuyun adalah sosok yang sangat sederhana. Seorang petani seperti kebanyakan penduduk kampung. Beliau memiliki sepetak sawah, sebuah kolam ikan, sepotong kebun salak di belakang rumahnya, dan beberapa ekor ternak kambing dan kelinci serta marmut peliharaannya. Sampai menjelang ashar biasanya beliau sibuk bekerja di sawah, saya sering berpapasan dengan beliau saat saya pergi bermain ke sungai yang letaknya tidak jauh dari kolam ikan beliau.
Saya juga kesulitan mengingat sosok Mang Yuyun yang berceramah di mimbar masjid, mungkin mimbar itu hanya untuk khutbah Jum'at. Saat pengajian bersifat umum untuk semua orang kampung, yaitu riyadhah setiap malam jum'at sehabis shalat isya dan hari Minggu pagi setelah shalat subuh. Atau acara pengajian ibu-ibu kampung setiap hari Minggu petang. Saat itu beliau duduk di sebuah kursi, satu-satunya kursi yang ada di masjid, dan memberikan "ceramah". Selebihnya beliau selalu duduk bersama kami dalam lingkaran, dan hanya membacakan entah itu kitab berhuruf arab gundul atau al-Quran, lalu membacakan artinya setiap kata, dan meminta kami mengulanginya, hingga kami mengingat baik pelafalan dalam bahasa arabnya maupun artinya.
Bapak saya bilang, kalau mau mengerti ilmu yang disampaikan guru baik di sekolah atau di manapun, tatap mata sang guru dan dengar baik-baik seluruh perkataannya. Itu yang selalu saya terapkan saat belajar bersama Mang Yuyun. Pernah beliau menegur saya, "Matamu merah seperti tukang tenung, mengantukkah?". Jelas rasa kantuk langsung melayang dan saya pun segar kembali. Mungkin tips belajar dari bapak saya ini yang justru menyulitkan jika guru saya terlalu aktif interaktif, apalagi jika harus menyimak tuntunan motivator yang bicara sambil lari-lari keluar ruangan, turun naik tangga lalu balik lagi ke dalam ruangan!
Sekarang saya merasa benar-benar beruntung dapat belajar mengaji di masjid Mang Yuyun. Setelah saya sekarang mengenal berbagai macam istilah ustadz amplop, ustadz selebritis, ustadz teroris dan berbagai label lainnya, saya tau Mang Yuyun adalah guru mengaji yang ideal untuk saya. Saya tidak ingat beliau berkata-kata panjang lebar menerangkan sesuatu, apalagi kata-kata yang berupa sindiran menyakitkan atau bermuatan politis, yang saya ingat hanyalah beliau yang membacakan setiap kata dari kitab atau al Quran dengan perlahan, diulangi berkali-kali hingga kami ingat, atau hingga waktu belajar selesai. Tapi mungkin karena saat itu saya masih kecil, kelas santri yang lebih besar bisa saja lain lagi metodenya.
Satu kejadian besar yang saya ingat pernah "mengheboh"kan adalah upaya beliau menghapuskan tradisi tahlilan dan batu qulhu di kampung kami. Saya hanya ingat jika ada yang meninggal dunia, tiba-tiba acara belajar kami dibatalkan, diganti dengan kegiatan kelas umum dimana kami dibagi beberapa buah batu kecil dan kami membaca surat al-ikhlas sambil menghitungnya dengan batu itu. Hadiahnya? biasanya ada makanan kecil, kadang lontong, kadang ubi rebus atau kue bugis, semuanya sumbangan warga kampung. Sekarang saya mengerti, beliau sedang berusaha menghilangkan tradisi tahlilan dengan memindahkan acara tahlilan dari rumah warga yang kena musibah, ke mesjid kami. Tujuannya agar keluarga yang ditinggalkan tidak diberati keharusan menjamu tamu yang tahlilan, tapi sekaligus tidak kesepian karena orang sekampung berkumpul bersama mereka di masjid, mendoakan orang terkasih mereka yang baru saja berpulang.
Setelah pindah ke ibukota, saya jarang pulang kampung. Pernah sekali pulang ketika saya kelas 3 SMA dan ikut pesantren kilat sebulan. Saat itu di belakang masjid sudah terbangun ruangan belajar sendiri, bersekat-sekat seperti ruang sekolah. Sudah ada koperasi santri, yang bentuknya menyerupai warung kecil. Saya lupa metode belajar dan apa yang saya pelajari di program pesantren kilat, mungkin karena saya sering bolos dan sibuk bermain di sungai!
Mengapa saya menuliskan sosok Mang Yuyun disini? karena suami saya yang menanyakan, "dimana kamu mempelajari islam yang sekarang kamu ajarkan padaku?". Lalu saya menceritakan Mang Yuyun, dan sadarlah saya, sedikit sekali yang saya ingat tentang beliau. Sebaliknya, banyak sekali yang telah beliau berikan kepada saya, tanpa saya balas sepantasnya, bahkan hanya dengan sekedar ucapan terima kasih. "Kalau ada rejeki, ajak aku pulang kampung dan bertemu Mang Yuyun yah?", pinta suami saya. Saya dengan yakin menjawab, "Insya Allah". Semoga Allah mempertemukan saya lagi dengan Mang Yuyun, amin.
Saya tinggal di kampung sampai menjelang akhir kelas 5 SD, atau tepatnya usia 11 tahun. Sejak saya mulai sekolah, kegiatan baru saya adalah sekitar jam 2 siang berangkat ke masjid. Saya lupa seperti apa jadwal pastinya, yang jelas setelah puas bermain biasanya kami dikumpulkan santri yang lebih besar untuk diajari membaca al-quran, bahasa arab dan tarikh islam. Lalu kami shalat ashar berjamaah. Setelah ashar inilah Mang Yuyun biasanya memimpin kami semua belajar. Yang saya ingat hanyalah membaca kitab berhuruf arab gundul yang sekarang baru saya tahu bahwa saat itu saya belajar ilmu aqaid dan fiqh. Lalu kami pun pulang sebentar ke rumah.
Menjelang maghrib, kami yang perempuan berangkat ke rumah Mang Yuyun yang letaknya tidak jauh dari masjid. Biasanya kami bekerja membantu istri Mang Yuyun di rumahnya. Saya hanya ingat menimba air di sumur, yang nantinya kami pakai sendiri untuk berwudhu sebelum shalat maghrib. Atau memberi makan kambing, kelinci dan marmut peliharaan Mang Yuyun. Saya masih kecil saat itu, kakak santri yang lebih besar mungkin membantu pekerjaan rumah yang lainnya karena Mang Yuyun punya banyak anak dan masih kecil-kecil. Kami tidak membayar uang sepeser pun kepada Mang Yuyun, cukup membantu pekerjaan rumah sekedarnya sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Kami shalat maghrib berjamaah lalu belajar membaca al-quran secara privat, satu santri mengajari satu santri lainnya, di bawah bimbingan Bi Nyai, istri Mang Yuyun. Sampai kemudian adzan Isya berkumandang dan kami pun berangkat bersama ke mesjid untuk bergabung dengan seluruh santri untuk belajar bersama Mang Yuyun. Sesi ini biasanya tentang akhlaq, lagi-lagi bukunya bertuliskan arab gundul, kalau tidak salah namanya Akhlaqul Bain. Saya sekarang bahkan sulit mengingat dimana saya dulu makan malam ya?
Mang Yuyun adalah sosok yang sangat sederhana. Seorang petani seperti kebanyakan penduduk kampung. Beliau memiliki sepetak sawah, sebuah kolam ikan, sepotong kebun salak di belakang rumahnya, dan beberapa ekor ternak kambing dan kelinci serta marmut peliharaannya. Sampai menjelang ashar biasanya beliau sibuk bekerja di sawah, saya sering berpapasan dengan beliau saat saya pergi bermain ke sungai yang letaknya tidak jauh dari kolam ikan beliau.
Saya juga kesulitan mengingat sosok Mang Yuyun yang berceramah di mimbar masjid, mungkin mimbar itu hanya untuk khutbah Jum'at. Saat pengajian bersifat umum untuk semua orang kampung, yaitu riyadhah setiap malam jum'at sehabis shalat isya dan hari Minggu pagi setelah shalat subuh. Atau acara pengajian ibu-ibu kampung setiap hari Minggu petang. Saat itu beliau duduk di sebuah kursi, satu-satunya kursi yang ada di masjid, dan memberikan "ceramah". Selebihnya beliau selalu duduk bersama kami dalam lingkaran, dan hanya membacakan entah itu kitab berhuruf arab gundul atau al-Quran, lalu membacakan artinya setiap kata, dan meminta kami mengulanginya, hingga kami mengingat baik pelafalan dalam bahasa arabnya maupun artinya.
Bapak saya bilang, kalau mau mengerti ilmu yang disampaikan guru baik di sekolah atau di manapun, tatap mata sang guru dan dengar baik-baik seluruh perkataannya. Itu yang selalu saya terapkan saat belajar bersama Mang Yuyun. Pernah beliau menegur saya, "Matamu merah seperti tukang tenung, mengantukkah?". Jelas rasa kantuk langsung melayang dan saya pun segar kembali. Mungkin tips belajar dari bapak saya ini yang justru menyulitkan jika guru saya terlalu aktif interaktif, apalagi jika harus menyimak tuntunan motivator yang bicara sambil lari-lari keluar ruangan, turun naik tangga lalu balik lagi ke dalam ruangan!
Sekarang saya merasa benar-benar beruntung dapat belajar mengaji di masjid Mang Yuyun. Setelah saya sekarang mengenal berbagai macam istilah ustadz amplop, ustadz selebritis, ustadz teroris dan berbagai label lainnya, saya tau Mang Yuyun adalah guru mengaji yang ideal untuk saya. Saya tidak ingat beliau berkata-kata panjang lebar menerangkan sesuatu, apalagi kata-kata yang berupa sindiran menyakitkan atau bermuatan politis, yang saya ingat hanyalah beliau yang membacakan setiap kata dari kitab atau al Quran dengan perlahan, diulangi berkali-kali hingga kami ingat, atau hingga waktu belajar selesai. Tapi mungkin karena saat itu saya masih kecil, kelas santri yang lebih besar bisa saja lain lagi metodenya.
Satu kejadian besar yang saya ingat pernah "mengheboh"kan adalah upaya beliau menghapuskan tradisi tahlilan dan batu qulhu di kampung kami. Saya hanya ingat jika ada yang meninggal dunia, tiba-tiba acara belajar kami dibatalkan, diganti dengan kegiatan kelas umum dimana kami dibagi beberapa buah batu kecil dan kami membaca surat al-ikhlas sambil menghitungnya dengan batu itu. Hadiahnya? biasanya ada makanan kecil, kadang lontong, kadang ubi rebus atau kue bugis, semuanya sumbangan warga kampung. Sekarang saya mengerti, beliau sedang berusaha menghilangkan tradisi tahlilan dengan memindahkan acara tahlilan dari rumah warga yang kena musibah, ke mesjid kami. Tujuannya agar keluarga yang ditinggalkan tidak diberati keharusan menjamu tamu yang tahlilan, tapi sekaligus tidak kesepian karena orang sekampung berkumpul bersama mereka di masjid, mendoakan orang terkasih mereka yang baru saja berpulang.
Setelah pindah ke ibukota, saya jarang pulang kampung. Pernah sekali pulang ketika saya kelas 3 SMA dan ikut pesantren kilat sebulan. Saat itu di belakang masjid sudah terbangun ruangan belajar sendiri, bersekat-sekat seperti ruang sekolah. Sudah ada koperasi santri, yang bentuknya menyerupai warung kecil. Saya lupa metode belajar dan apa yang saya pelajari di program pesantren kilat, mungkin karena saya sering bolos dan sibuk bermain di sungai!
Mengapa saya menuliskan sosok Mang Yuyun disini? karena suami saya yang menanyakan, "dimana kamu mempelajari islam yang sekarang kamu ajarkan padaku?". Lalu saya menceritakan Mang Yuyun, dan sadarlah saya, sedikit sekali yang saya ingat tentang beliau. Sebaliknya, banyak sekali yang telah beliau berikan kepada saya, tanpa saya balas sepantasnya, bahkan hanya dengan sekedar ucapan terima kasih. "Kalau ada rejeki, ajak aku pulang kampung dan bertemu Mang Yuyun yah?", pinta suami saya. Saya dengan yakin menjawab, "Insya Allah". Semoga Allah mempertemukan saya lagi dengan Mang Yuyun, amin.
Comments
Post a Comment