Skip to main content

Bahasa Ibu atau Bahasa Anak?

Kegelisahan terbesar saya sebagai ibu adalah perbedaan latar belakang keluarga yang sangat jauh dengan anak-anak saya. Memang seperti kata-kata bijak, anak-anak adalah anak panah dan orangtua adalah busurnya, anak-anak adalah milik zamannya masing-masing.

Sebagai pasangan campuran Indonesia-Jepang yang tinggal di Jepang, banyak sekali tantangan (kesulitan) yang saya alami, dan dalam beberapa hal sudah kelihatan saya tidak dapat mengatasinya dengan baik. Hal yang paling sulit adalah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi anak-anak.

tampilan isi buku Lagu Anak
Saat Kakak lahir, kami bersepakat menggunakan metode one parent one language, saya berbahasa Indonesia dan suami berbahasa Jepang kepada Kakak, tapi kami berdua terpaksa tetap berbahasa Inggris. Awalnya bahasa Indonesia Kakak cukup untuk digunakan sehari-hari, tapi semenjak mulai masuk TK, jelas sekali pertumbuhan bahasa Jepangnya lebih pesat dari bahasa Indonesia. Meskipun saya berbahasa Indonesia, jawaban Kakak tetap bahasa Jepang. Lama-lama Raika pun "kehabisan kosakata" dan acara bercakap-cakap dengan Kakak menjadi melelahkan. Saya pun menyerah, mulai berbahasa Jepang juga. Sekarang kalau diurutkan berdasarkan frekuensi penggunaan, bahasa Indonesia urutan terakhir, setelah bahasa Jepang dan Inggris. Saya sadar, saya telah menyetel bom waktu yang akan meledak saat giliran  saya "kehabisan kosakata bahasa Jepang" nanti.

Hal ini membuat saya putus asa, sekilas kegundahan hati saya pernah juga saya tulis sebelumnya.
Silakan baca akar atau daun?

tampilan isi kamus bergambar
Sekarang ada dua hal yang sedang saya usahakan, untuk sedikitnya melambatkan detak detonator bom waktu tersebut, semakin mempelajari bahasa Jepang sambil mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebagai bahasa asing pertama bagi anak-anak. Selain metode yang sama dengan saat Kakak baru lahir, yaitu banyak bercakap bahasa Indonesia dan membacakan buku atau memperlihatkan DVD cerita/lagu berbahasa Indonesia, kini saya pun mulai nekat menggunakan alat-alat sendiri. Salah satunya membuat buku lagu anak dan kamus bergambar.

Awalnya saya tidak percaya diri, karena saya tidak bisa membuat bahan ajar yang lucu-lucu untuk menarik minat anak-anak, apalagi jika harus menggunakan komputer, menyerah deh!. Saya pasrah menggunakan gambar gratis dari internet dan syairnya saya tulis tangan. Karena minder takut ditolak Kakak, saya menggunakannya saat menyanyikan lagu-lagu sambil memangku Adek. Tak disangka, si Aa dan belakangan si Kakak juga mulai ikut-ikutan. Apalagi si Kakak memang rata-rata sudah hafal lagu-lagu yang saya nyanyikan. Kalau si Aa suka dengan buku, meskipun buku lagu yang saya pegang tidak begitu menarik. Adek bayi? tentu saja suka yang penting sambil digendong!

Sambil sedikit demi sedikit menambah koleksi lagu anak, saya juga membuat kamus gambar. Caranya? Mudah sekali, memilih salah satu buku gambar benda-benda berbahasa Jepang dan menuliskan bahasa Indonesia di bawahnya. Sambutan si Kakak cukup baik, kita lihat saja apakah kami bisa terus konsisten belajar, Ibu mempelajari bahasa anak, dan anak mempelajari bahasa Ibu.


Lagu Anak dan Kamus Bergambar

Comments

  1. Ibu kerennnn... Life is never ending learning ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. kekerenan is in the eye of the beholder ya din he3, lagi putus asa aja terlihat keren yah :

      Delete
  2. Nyai, gw pertama kali dengar tentang trilingual (multilingual) kids dari teman gw Santi Dharmaputra di http://trilingual.livejournal.com/. Anak-anak mereka berbahasa Prancis dengan bapak, Indonesia dengan Ibu, Inggris, Jerman dari sekolah. Gw salut dengan kegigihan Santi dng prinsip anak-anak harus bisa bahasa ortunya spy tidak tercabut dari keluarga besar mereka. Kalau soal susahnya dan rempongya sih pasti yak hehe. Mungkin bisa jadi bahan referensi. Btw, ini komen kedua gw. Gak tau juga apakah yg pertama masuk. Ganbatte ne.

    ReplyDelete
  3. menjadi seorang ibu harus benar-benar kreatif ya dalam mengajarkan anak palagi bila menikah dengan yang berbeda negara, semangat kak..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b

Cerita Kelahiran Raika

Alhamdulillah....akhirnya saya menjadi ibu juga. Si neng lahir hari Jumat 5 Desember 2008, Berat Lahir 3.512kg Panjang Badan 51 cm, dan kami namai RAIKA 来香 . Sayang sekali proses kelahirannya tidak mendapatkan liputan yang layak

Menyurangi Resep Ebi Furai

Salah satu makanan favorit keluarga adalah furai atau gorengan, terutama ebi furai. Biasanya kalau saya membuat stok makanan beku saya sekaligus membuat ebi furai , chicken nugget dan hamburg/burger patties . Cuma belakangan si Aa udah mulai jarang tidur siang, jadi sudah tidak bisa lama-lama mencuri waktu membuat stok makanan lagi.