Sebelum berangkat ke Jepang untuk program S2, saya dan teman2 seangkatan mengikuti serangkaian persiapan seperti kursus bahasa Inggris dan pengenalan mengenai Jepang, masyarakat dan budayanya. Yang paling berkesan bagi saya adalah saat diberitahu bahwa orang Jepang sangat menjaga jarak. Di kelas itu ditunjukkan saat duduk di ruang tunggu misalnya, jangankan berbasa basi, memilih kursi pun diusahakan jangan yang pas disampingnya, tapi minimal satu kursi di sebelah kita harus dikosongkan.
Masalah jaga jarak inilah yang selalu saya ingat. Sampai akhirnya saya menikah dan punya anak. Terasa sekali betapa kaku dan kesepiannya hidup di Jepang. Meskipun pergi ke taman dan berjumpa banyak orang, tidak bisa bebas bertegur sapa, apalagi ngobrol ngalor ngidul (selain kendala bahasa juga ada tentunya).
Tapi ternyata lama kelamaan saya menyadari, orang Jepang juga butuh "merasa dekat" atau "tanpa jarak". Bermula dari perjumpaan dengan seorang Jepang yang sama2 melahirkan di RS yang sama yang kemudian menjadi tetangga bahkan teman dekat. Lalu teman2 kenalan sesama main di jidoukan (fasilitas pemda tempat main anak2 gratis), juga kenalan2 sesama orang asing yang menikah dengan warga negara Jepang di sekitar rumah.
Dengan beberapa teman biasanya kami saling janjian kalau mau keluar main ke taman atau ke jidoukan. Saat anak2 main itulah kami biasa ngobrol. Dari topik yang biasa2, lama2 sampai hal2 pribadi pun mulai jadi topik pembicaraan. Ternyata ibu2 Jepang sama aja, curhat tentang mertua dan tetangga he3. Lain hal dengan teman2 sesama wna, kalau pas ketemu di supermarket kebiasaan curhat sambil berdiri begitu saja di lorong, kereta belanja dan stroller menghalangi orang yang belanja. Sayangnya, saya sudah terlanjur diracuni dengan budaya "jaga jarak". Jadi walaupun tentu saja saya juga punya unek2 n pengen curhat, saya lebih banyak jadi "pendengar" saja.
Saya juga jaraaang sekali bertanya2 atau mengorek informasi, tapi lebih sering dimintai informasi he3. Misalnya, "Nyai-san, gimana ceritanya bisa ketemu sama suami?". Lalu saya pun bercerita ala kadarnya. Tapi walau saya penasaran ingin tau bagaimana kisah pertemuan seorang teman dengan suaminya (pasangan yang cukup unik lho), sampai sekarang saya tahan2 he3. Yang lebih parah, sewaktu saya baru hamil anak kedua, setelah sebelumnya keguguran sampai dua kali. Seorang teman bertanya, "pakai metode apa siy kok cepat hamil?". Metode apa? saya bingung. "Metode menghitung saat subur itu lho! kan kita2 gak "begituan" kecuali lagi program mau punya anak, dan itu harus pas masa subur", penjelasan teman lain. "hah??", saya bingung. "Lho...jadi Nyai-san semau2nya aja ya? gak pake jadwal? berapa kali seminggu?". "Haaaaahhhhh!", asli kaget, muka saya terasa panas. Apalagi di meja sebelah sekilas saya lihat seorang nenek senyum2 penuh arti gitu, seakan2 sedang mencuri dengar dan penasaran kepingin tau jawaban saya. Whoaaaa, kemana itu budaya "jaga jarak"???? tuwoloooong!
Masalah jaga jarak inilah yang selalu saya ingat. Sampai akhirnya saya menikah dan punya anak. Terasa sekali betapa kaku dan kesepiannya hidup di Jepang. Meskipun pergi ke taman dan berjumpa banyak orang, tidak bisa bebas bertegur sapa, apalagi ngobrol ngalor ngidul (selain kendala bahasa juga ada tentunya).
Tapi ternyata lama kelamaan saya menyadari, orang Jepang juga butuh "merasa dekat" atau "tanpa jarak". Bermula dari perjumpaan dengan seorang Jepang yang sama2 melahirkan di RS yang sama yang kemudian menjadi tetangga bahkan teman dekat. Lalu teman2 kenalan sesama main di jidoukan (fasilitas pemda tempat main anak2 gratis), juga kenalan2 sesama orang asing yang menikah dengan warga negara Jepang di sekitar rumah.
Dengan beberapa teman biasanya kami saling janjian kalau mau keluar main ke taman atau ke jidoukan. Saat anak2 main itulah kami biasa ngobrol. Dari topik yang biasa2, lama2 sampai hal2 pribadi pun mulai jadi topik pembicaraan. Ternyata ibu2 Jepang sama aja, curhat tentang mertua dan tetangga he3. Lain hal dengan teman2 sesama wna, kalau pas ketemu di supermarket kebiasaan curhat sambil berdiri begitu saja di lorong, kereta belanja dan stroller menghalangi orang yang belanja. Sayangnya, saya sudah terlanjur diracuni dengan budaya "jaga jarak". Jadi walaupun tentu saja saya juga punya unek2 n pengen curhat, saya lebih banyak jadi "pendengar" saja.
Saya juga jaraaang sekali bertanya2 atau mengorek informasi, tapi lebih sering dimintai informasi he3. Misalnya, "Nyai-san, gimana ceritanya bisa ketemu sama suami?". Lalu saya pun bercerita ala kadarnya. Tapi walau saya penasaran ingin tau bagaimana kisah pertemuan seorang teman dengan suaminya (pasangan yang cukup unik lho), sampai sekarang saya tahan2 he3. Yang lebih parah, sewaktu saya baru hamil anak kedua, setelah sebelumnya keguguran sampai dua kali. Seorang teman bertanya, "pakai metode apa siy kok cepat hamil?". Metode apa? saya bingung. "Metode menghitung saat subur itu lho! kan kita2 gak "begituan" kecuali lagi program mau punya anak, dan itu harus pas masa subur", penjelasan teman lain. "hah??", saya bingung. "Lho...jadi Nyai-san semau2nya aja ya? gak pake jadwal? berapa kali seminggu?". "Haaaaahhhhh!", asli kaget, muka saya terasa panas. Apalagi di meja sebelah sekilas saya lihat seorang nenek senyum2 penuh arti gitu, seakan2 sedang mencuri dengar dan penasaran kepingin tau jawaban saya. Whoaaaa, kemana itu budaya "jaga jarak"???? tuwoloooong!
Hehe mbak Nyai, jadi inget, dulu juga daku pernah di ajak ngobrol lama ma nenek2 yang belum ku kenal (ada beberapa nenek2 yang jd kenal krn sama2 pelanggan daiei), tp ini gk pernah kenal, eh dia tau banget tentang daku sehari2nya, dr hamil ampe melahirkan, suka kasian katanya, kemana2 sendirian aja gk ada temen hehehe... (kaget juga waktu itu kok bisa tau yah, tnyata emang pada perhatian yah ternyata ma tetangga hehehe)
ReplyDeleteHehe, emang topik obrolannya menariik hehehehe :D
wah yang salah mentor lo yang ngasi pengarahan waktu persiapan mau pergi ke Jepang, Ik. udah gak apdet dan kurang riset kyahahaha :))
ReplyDelete