Skip to main content

Pekerjaan yang tak terlihat

“Adek, Ayah lagi kemana?”
“Kelja!”
“Kerja cari apa?”
“Cali uang!”
“Buat siapa?”
Sambil tersenyum bangga, “Buat Adek!”


Working Dad Guilt
gambar diambil dari working dad stories
Masih adakah orangtua dan batita cadel berdialog dengan isi percakapan jadul seperti ini? Seorang ibu yang menanamkan kebanggaan anak-anak akan kerja keras ayahnya di luar rumah, untuk menghidupi keluarganya.

Sesuatu yang baru saya sadari belakangan ini, sangat penting untuk dilakukan, tapi terlupakan karena tertutup oleh kesibukan, bahkan kecemburuan saya terhadap suami yang sibuk bekerja. Begaimana tidak, dengan jam kerja di Jepang yang panjang, ditambah lembur di hari sabtu dan minggu, membuat kami selalu merasa ditinggalkan. Kadang saya sering kehabisan ide bagaimana menghabiskan weekend seru dengan anak-anak tanpa ayah mereka. Bukan apa-apa, meskipun banyak taman-taman gratis yang seru yang bisa kami kunjungi, kondisi saya selalu menggendong bayi tidak bebas mengejar si Aa yang kesana kemari menaiki berbagai macam fasilitas permainan di taman, yang memerlukan pendampingan orang dewasa.

Akhirnya bisa ditebak, kami lebih sering di rumah, bermain dengan kegiatan itu itu lagi, memasak atau menanam Bahkan bagi si Kakak yang senang di dapur, sudah bosan! Lalu mereka mengeluh, coba ayah libur kan enak bisa lama main di luar! Ah, jangankan anak-anak, saya ibunya juga kan kepingin libur, me time, relaks dan lain-lain. Jadi, boro-boro anak-anak bangga ayahnya sibuk kerja cari uang buat keluarga, alih-alih imej si ayah malah jadi rusak gara-gara sibuk bekerja!

Satu generasi lalu, ketika sektor ekonomi primer dan sekunder masih mendominasi, para ayah selalu terlihat bekerja keras di rumah, di sawah atau ladang, atau di ruko. Sehingga anak istri melihat sendiri bagaimana para ayah berpeluh mengais rejeki untuk anak dan istrinya. Maka anak-anak pun tumbuh menghargai apa yang diberikan ayahnya, bahkan tergerak membantu ayah, minimal dengan tekun belajar sehingga ayah bangga akan prestasinya, juga harapan kelak bisa membahagiakan sang ayah.

Tapi kini, pekerjaan ayah tidak terlihat. Anak-anak hanya tahu, para ayah pergi pagi pulang sore, bahkan terkadang malam. Kalau sabtu minggu, ayah lembur. Kalau tidak lembur, ayah seringnya tidur siang atau leyeh-leyeh di rumah. Tidak jarang para ayah dapat tugas ke luar kota atau ke luar negeri, tapi yang kelihatan hanya foto narsis ayah di facebook, dengan latar belakang tourist spot terkenal di luar kota bahkan manca negara. Ah, si ayah bersenang-senang sendirian! (Ini mah termasuk gerutuan para ibu).

Padahal, di waktu-waktu antara berangkat pagi dan pulang sore itu para ayah sibuk bekerja. Padahal di akhir pekan, para ayah juga kepingin libur dan istirahat. Padahal pergi dinas ke luar kota atau ke luar negeri pun tidak melenggang layaknya pergi jalan-jalan. Bagaimanapun, ketidakberadaan ayah (bahkan ibu, jika ibu juga bekerja) di rumah adalah untuk kelangsungan hidup keluarga. Walaupun tentu saja ayah harus mendahulukan work-life balance, tapi ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang secara alamiah tidak bisa fleksibel. Bahkan pekerjaan-pekerjaan ini biasanya mutlak dibutuhkan masyarakat. Dalam kondisi seperti inilah, ibu dan anak-anak harus berbesar hati. Terutama ibu yang juga harus memberikan pemahaman tentang apa yang dilakukan ayah untuk anak-anak di luar rumah. Bahkan jika perlu, ayah harus mengajak anak mengunjungi tempat kerja untuk menunjukkan apa yang dilakukan ayah di luar rumah.

Memberikan pemahaman pada anak tentang ayah yang bekerja untuk menghidupi keluarga bukan hanya dapat menanamkan rasa terima kasih kepada ayah, tapi juga pemahaman akan hakikat tujuan bekerja itu sendiri. Kelak saat anak-anak sudah dewasa dan bekerja, mereka juga akan memahami bahwa, aktualisasi diri bukan tujuan utama bekerja. Pemahaman bahwa bekerja untuk menafkahi keluarga dapat menjaga motivasi mereka saat bosan atau jenuh, atau bahkan menjadi penyeimbang dan memudahkan pengambilan keputusan untuk berhenti atau memilih pekerjaan lain, jika beban pekerjaan sudah mulai merampas waktu dan kebebasan mereka. Bukankah lebih berat rasanya untuk meninggalkan atasan dan rekan kerja yang tidak perhatian, daripada menceraikan suami atau memutuskan pacar yang tidak perhatian?


Bekerja hanya untuk menghidupi keluarga, mungkin terdengar tidak keren, tidak achievement oriented, bahkan sekilas seperti mengancam produktivitas. Tapi melihat kondisi tuntutan pekerjaan di Jepang, menyederhanakan arti bekerja justru penting. Tingkat bunuh diri yang tinggi di Jepang, khususnya di usia 20-30 an, pemicu utamanya adalah depresi karena tuntutan pekerjaan. Rendahnya tingkat kelahiran di Jepang, dan tidak mempannya berbagai kebijakan untuk mengatasinya, menurut saya sedikit banyak karena jam kerja para suami yang panjang. Buktinya, setelah proporsi ibu bekerja di Jepang naik (dan malah sudah menjadi mayoritas), artinya memilih bekerja tidak menghambat keputusan wanita untuk memiliki anak, tingkat kelahiran di Jepang tetap rendah. Jangankan sebagai ibu bekerja yang harus membagi waktu di kantor dan di rumah, ibu rumah tangga pun butuh kehadiran dan partisipasi suami di rumah! Pemahaman bekerja untuk menafkahi keluarga, justru akan menjadi fokus utama dalam meniti karir, dan motivasi untuk tetap produktif tanpa melupakan work-life balance.

Comments

  1. Klo saya, suka ajak anak doain ayahnya, smoga dikasih sehat & selamat, smoga pekerjaannya lancar..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya betul Mak, doa tulus anak yang shaleh, semoga makbul :)

      Delete
  2. Aku trmsuk yg srg bilang k anak2, kalo papinya mereka sdg kerja, cari duit utk mereka juga :). Soalnya anak2 hrs aku akuin lbh deket k papinya mba.. makanya kalo papinya pulang malam, pasti slalu dicariin dan ditunggu sampe pulang.. aku juga kerja sih, tp memang lbh duluan aku sampe di rmh biasanya :D.

    Kdg kasian aja kalo ngeliat si kaka trutama yg ga bisa tidur kalo ga nempel Ma papinya. Tp untungnya msh bisa ngerti dan sabar nungguin sampe papinya pulang k rmh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Great, Mak! anakku yang ke-2 yang anak bapak. Kalo bapaknya kerja ditangisin, tidur berdua bapak. Mungkin karena pas aku hamil n lahiran anak ke-3 dia terus-terusan didampingi bapaknya :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b

Cerita Kelahiran Raika

Alhamdulillah....akhirnya saya menjadi ibu juga. Si neng lahir hari Jumat 5 Desember 2008, Berat Lahir 3.512kg Panjang Badan 51 cm, dan kami namai RAIKA 来香 . Sayang sekali proses kelahirannya tidak mendapatkan liputan yang layak

Menyurangi Resep Ebi Furai

Salah satu makanan favorit keluarga adalah furai atau gorengan, terutama ebi furai. Biasanya kalau saya membuat stok makanan beku saya sekaligus membuat ebi furai , chicken nugget dan hamburg/burger patties . Cuma belakangan si Aa udah mulai jarang tidur siang, jadi sudah tidak bisa lama-lama mencuri waktu membuat stok makanan lagi.