Skip to main content

Mengapa Takut?

kabutomushi, sumber: wikipedia
Saat menyirami tanaman di halaman, saya menemukan seekor ulat yang melekat pada setangkai daun. Oh tidaaaak!
saya jijik...takut...benci pada ulat! melihatnya saja badan langsung gatal-gatal. Herannya, si Kakak yang sering lari terbirit-birit karena ada seekor nyamuk kecil yang bahkan (belum) hendak menggigitnya, atau mendengar dengungan lebah, walaupun justru lebah itu sedang melarikan diri darinya, malah tertawa senang lalu mencoba mencungkilnya dengan ranting kecil.

"Lho, kok malah diajak main ulatnya? ayo lekas panggil ayahmu!", saya tidak sabar.

Sambil tertawa kecil, si Kakak memanggil ayahnya, dan tak lama masalah saya dengan si ulat jahil selesai sudah. Kami pun melanjutkan menyirami tanaman dengan gembira.

"Kenapa Kakak tidak takut ulat? padahal sama nyamuk yang kecil aja takut", saya iseng.

"Ulat kan imut-imut, kalau sudah jadi kupu-kupu malah cantik kan. Kalau nyamuk suka gigit, sakit", jawabnya.

Aaaah....belum pernah kena gatal karena ulat bulu siy! dan bukan hanya gatal, bentuknya pun menurut saya sangat menakutkan.  Si Kakak memang persis ayahnya, tidak jijik pada ulat tapi takut nyamuk. Reaksi mereka kalau melihat nyamuk kadang bikin saya jengkel. Kalau takut ya tinggal tepok aja kan gampang. Kalau sudah terlanjur digigit ya tinggal oles balsam, atau minyak kayu putih. Kalau tidak mau digigit ya siap-siap pakai losion anti nyamuk, beres kaaan? tapi kalau ulat, aduuuuh melihatnya aja udah gak tahan!

Celakanya minggu lalu ketika kami sedang berbelanja di supermarket, itu ayah anak kompak ikutan antri mendapat anak kabutomushi (kalau lihat wikipedia versi bahasa Indonesia namanya jadinya Kumbang Badak Jepang).  Saya tidak takut kabutomushi, walaupun tidak ngefans juga. Terbukti tahan hidup bersamanya ketika suami saya memungut dan memelihara seekor kumbang badak beberapa tahun yang lalu. Jadi saya setuju saja, lagipula saya sedang sibuk belanja saat itu.

Si Kakak amat senang mendapatkan anak si kumbang badak dan memperlihatkan pada saya. Yang saya lihat cuma sebuah wadah plastik berisi tanah. Saya mencari si anak kumbang badak, ya ampuuun! ternyata....wujud anak kumbang badak itu.....seperti ulat berbilur-bilur putih...basah berlendir...menggelung di dasar wadah! Saya benar-benar tidak tahan melihatnya, tapi ayah dan anak itu kompak bersikeras memeliharnya. Akhirnya saya mengalah dan membiarkan mereka membawanya pulang. Saya meminta mereka menaruhnya di genkan, tidak boleh dibawa masuk lebih jauh ke dalam rumah.

Dan hari ini, saat sedang menyiapkan makan malam, saya mendengar suara pintu seperti diketuk-ketuk. Kebetulan angin bertiup sangat kencang, jadi saya pikir mungkin pintu yang terdorong angin. Saya putuskan untuk mendiamkan saja, tapi lama kelamaan semakin sering dan keras. Saya pun mengecek pintu keluar, tidak ada siapa-siapa. Lalu mengecek pintu toilet dan kamar mandi, semua jendela tertutup rapat jadi tidak mungkin ada angin yang masuk. Setelah berputar-putar sekitar genkan mencari sumber bunyi itu, saya kemudian menemukannya. Seekor ulat besar berkepala hitam, sedang menggeliat-geliat, mengetuk-ngetuk tutup wadah plastik yang berisi tanah basah, berusaha keluar! Arrrrgggghhhhh! suami saya belum pulang dan si Kakak juga tidak berani berbuat apa-apa. Akhirnya saya menutup wadah plastik itu dengan sebuah memo kecil yang tergeletak di dekatnya. Suara ketukan pun tak terdengar lagi.

Saya berusaha melanjutkan memasak seperti tidak ada apa-apa. Tapi kemudian saya merasa takut, jangan-jangan saya tadi menutup lubang udara si calon kumbang badak. Jangan-jangan nanti dia mati gara-gara saya. Akhirnya saya kembali ke genkan, memindahkan memo ke tempat asalnya dan membiarkan si mahluk separuh ulat itu bernafas. Sambil agak gemetar saya bahkan memotretnya, jaga-jaga seandainya nanti dia mati, untuk kenang-kenangan suami saya. Juga untuk diperlihatkan disini, saya tidak mau takut sendirian!


Comments

  1. Ka...gw masih inget lo gelian banget orangnya alias jijikan hahaha....kebayang deh usaha mengendalikan kejijikannya

    ReplyDelete
  2. emang...liat ulet geliyat geliyuuut gitu jijik....inget kan bu kos dengan tanemannya :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b

Cerita Kelahiran Raika

Alhamdulillah....akhirnya saya menjadi ibu juga. Si neng lahir hari Jumat 5 Desember 2008, Berat Lahir 3.512kg Panjang Badan 51 cm, dan kami namai RAIKA 来香 . Sayang sekali proses kelahirannya tidak mendapatkan liputan yang layak

Menyurangi Resep Ebi Furai

Salah satu makanan favorit keluarga adalah furai atau gorengan, terutama ebi furai. Biasanya kalau saya membuat stok makanan beku saya sekaligus membuat ebi furai , chicken nugget dan hamburg/burger patties . Cuma belakangan si Aa udah mulai jarang tidur siang, jadi sudah tidak bisa lama-lama mencuri waktu membuat stok makanan lagi.